TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berpikir dan bertindak terbalik terkait pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan luar biasa termasuk koruptor.
"DPR terlihat berpikir dan bertindak terbalik. Untuk masyarakat kecil mereka mempersempit ruang hingga merampas, lihat UU SDA, RKUHP, UU Pertanahan. Tapi untuk koruptor mereka pikirkan haknya, revisi UU Nomor 12 tahun 1995, dan UU KPK," kata Asfinawati kepada Tempo Kamis, 19 September 2019.
Keputusan ini dinilainya justru menunjukkan bahwa DPR menyamakan tindak pidana biasa dengan tindak pidana khusus. "Padahal namanya juga khusus, atau dalam istilah dunia transnational organized crime," katanya.
Asfinawati mengatakan seharusnya korupsi harus dibedakan dengan orang yang mencuri ayam karena kelaparan. Jika disamakan, hal itu tidak adil terhadap si pencuri ayam. "Lebih parah lagi jika mencuri ayam karena miskin, miskin karena uang negara dicuri koruptor," katanya.
Dia menegaskan, proses pengurangan masa hukuman dan pembebasan bersyarat ini dapat membuka peluang korupsi berikutnya serta dapat menghilangkan makna pemidanaan dan pengaturan pidana tentang korupsi itu sendiri. "Enggak apa-apa masuk penjara, nanti bisa dipotong besar," katanya menyindir.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Desmond J. Mahesa mengatakan aturan mempermudah pemberian pengurangan masa hukuman dan pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan luar biasa diciptakan dengan alasan keadilan dan kepastian hukum.
Aturan yang mempermudah remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor serta pelaku kejahatan luar biasa lainnya tertuang dalam rancangan revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU PAS) yang segera akan disahkan DPR.