TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif menyayangkan keputusan DPR terkait kemudahan memberikan remisi dalam revisi Undang-Undang Pemasyarakatan.
Revisi UU PAS yang mempermudah syarat pemberian remisi atau pemotongan masa hukuman bagi pelaku kejahatan luar biasa seperti terorisme, korupsi, kejahatan hak asasi manusia berat.
“Ya saya pikir menyayangkan, karena selama ini kan kita menganggap korupsi itu adalah serious crime dan extraordinary crime. Tapi kalau memperlakukan koruptor sama dengan pencuri sendal, ya enggak cocok,” kata Laode di Gedung Merah Putih KPK pada Kamis, 19 September 2019.
Bagi Laode, keputusan DPR memberi remisi dan pembebasan bersyarat melengkapi peristiwa luar biasa yang terjadi sejak dua pekan terakhir terkait pemberantasan korupsi. Dimulai dengan UU KPK, RKUHP dan diakhiri dengan RUU PAS. Ketiganya dinilai Laode adalah hal yang sistematis. “Jadi memang masyarakat dan Tuhan bisa menilai. Sistematis ya,” kata Laode.
Meski begitu Laode menegaskan pihaknya adalah aparat penegak hukum yang tak berwenang membuat Undang-undang. Lembaga antikorupsi itu hanya dapat menjalankan amanat pemerintah. “Tapi saya enggak tahu apakah masyarakat menghendaki hal yang sama atau tidak. Oleh karena itu, masyarakat bisa menanyakan ke Pemerintah, Presiden dan DPR,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Desmond J. Mahesa mengatakan aturan mempermudah pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan luar biasa diciptakan dengan alasan keadilan dan kepastian hukum.