TEMPO.CO, Jakarta-Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Jimly Asshiddiqie memastikan bahwa gelar kehormatan Bintang Mahaputera Utama yang didapat oleh Hadi Poernomo sudah dipertimbangkan secara matang. Jimly tak mempermasalahkan status mantan tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang pernah disematkan pada Hadi.
Menurutnya sebelum memberikan gelar, para calon sudah diperiksa latar belakangnya, termasuk jika pernah terlilit kasus hukum. Meski Hadi pernah menjadi tersangka, kata Jimly, namun putusan final dari Mahkamah Agung telah membatalkan status tersebut.
"Sampai detik ini, semua yang diberikan gelar ini, penghargaan ini, tidak ada masalah hukum," kata Jimly saat ditemui usai pemberian penghargaan di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Agustus 2019.
Sebagai Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, maka harus memperlakukan sama semua status para calon penerima penghargaan. Entah ia mantan ketua lembaga negara atau apa pun, Jimly mengatakan selama tak ada masalah hukum maka Dewan berhak memberikan penghargaan. "Kalau misalnya pada suatu hari ternyata ada lagi masalah hukum, tentu tidak sulit untuk dievaluasi ulang dan bisa dicabut. Tak ada masalah," kata Jimly.
Meski begitu, Jimly mengatakan pada penghargaan tahun ini, memang terjadi pengetatan pemberian penghargaan. Tak ada calon yang menerima penghargaan tertinggi, yakni Bintang Mahaputra Adipurna dan Bintang Adipurna Adipradana.
Delapan orang yang menerima penghargaan tertinggi di tahun ini, terdiri dari empat Bintang Mahaputra Utama dan Bintang Mahaputra Naraya. Nama Hadi sendiri diajukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mendapat gelar. Hadi memang merupakan Ketua BPK periode 2009-2014. "(Diajukan oleh) BPK dengan pertimbangan hukum lengkap," kata Jimly.
Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2014 menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka. Hadi ditetapkan sebagai tersangka terkait dengan jabatannya sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan periode 2002-2004. Hadi diduga mengubah keputusan sehingga merugikan negara Rp 375 miliar.