TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi III atau Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Arsul Sani mempersilakan kalangan aktivis memberikan masukan ihwal Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Namun Arsul mengatakan masukan itu harus berupa formulasi pasal-pasal yang dianggap bermasalah, bukan lagi perdebatan soal politik hukum.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tidak Terburu-buru Mengesahkan RKUHP
Dia juga meminta agar tak ada desakan untuk menghapus pasal-pasal yang diperdebatkan tersebut. "Problem di RKUHP itu kalau dibagi dua bagian besar itu ada soal politik hukum dan ada soal formulasi. Nah yang dikritik masyarakat sipi itu kan sebetulnya sebagian soal politik hukum," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 5 Juni 2019.
Arsul mencontohkan, kelompok aktivis mengkritik ihwal pasal penodaan agama. Dia menilai tujuan sebenarnya dari kelompok masyarakat sipil ini ialah agar pasal tersebut dihapuskan dari RKUHP, meski kritik yang terlontar adalah soal formulasi pasal.
Di sisi lain, kata Arsul, DPR dan pemerintah sepakat pasal tersebut harus ada dalam RKUHP. "DPR dan pemerintah sepakat itu perlu ada sebagai politik hukum kita. Bahwa itu perlu supaya tidak gampang menjerat berarti itu urusannya formulasi pasal," kata Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan ini.
Baca Juga:
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi Hukum Erma Suryani Ranik mengatakan ada tujuh pasal dalam RKUHP yang masih menjadi perdebatan. Ketujuhnya ialah pasal hukum adat, pasal pidana mati, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, pasal kesusilaaan, pasal terorisme, korupsi dan narkotika, pasal tentang ketentuan peralihan, dan pasal ketentuan penutup.
Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, kata Erma, sebenarnya telah berprogres di dalam pembahasannya. Komisi Hukum telah sepakat mengkategorikan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden sebagai delik aduan.
"Konsepnya delik aduan itu menurut saya bagus," kata Erma di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 3 Juli 2019.
Namun pasal penghinaan presiden dan wakil presiden ini juga dikritik lantaran sebelumnya pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan, mengacu hak asasi manusia dan demokrasi, pasal itu seharusnya ditiadakan dari draf RKUHP.
"Karena presiden sebagai pejabat publik perlu mendengar kritik," kata Asfinawati, dikutip dari Koran Tempo, Senin, 1 Juli 2019.