TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Lembaga Pemilih Indonesia Boni Hargens menyebut Mayor Jenderal (Purnawirawan) Kivlan Zen sebagai salah satu contoh penumpang gelap di tengah gejolak pemilihan presiden atau Pilpres 2019. Kivlan, kata dia, masuk dalam kategori pebisnis politik yang cenderung ingin menimbulkan kekacauan saja.
Baca juga: Dituding Makar, Kivlan Zen Polisikan Balik Pelapornya
"Saya mau mengatakan Pak Kivlan Zen ini sudah ahli di dalam mengelola kerusuhan," kata Boni Hargens dalam diskusi bertajuk "Gejolak Pemilu 2019: Problem Demokrasi Elektoral atau Sekadar Mainan Bandar Politik?" di kawasan Sudirman, Jakarta, Sabtu, 11 Mei 2019.
Boni mengatakan, kiprah Kivlan dalam bisnis penggalangan massa bisa terlihat dalam aktivitasnya di kelompok Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa pada era 1998.
Pam Swakarsa adalah sebutan untuk kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk oleh TNI untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR) tahun 1998, yang berakhir dengan Tragedi Semanggi.
Perihal bisnis penggalangan massa Pam Swakarsa Kivlan Zen ini sebelumnya juga dikemukakan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief. Andi menilai, saat ini Kivlan tengah melakukan manuver serupa dengan menggalang massa untuk berdemonstrasi mengepung Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu menuntut diskualifikasi pasangan calon 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Cerita ketika menjadi Komandan Pam Swakarsa pernah diungkit sendiri oleh Kivlan pada Februari lalu. Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat itu sempat mengaku belum menerima uang dari Jenderal (purn) Wiranto yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI untuk biaya Pam Swakarsa. "Beliau itu tak menyerahkan ke saya pembiayaan itu loh. Masa saya disuruh bekerja tanpa biaya kan gitu loh," kata Kivlan Zen di Gedung Ad Premiere, Jakarta Selatan, Senin, 25 Februari 2019.
Baca juga: Kivlan Zen Batal Dicegah ke Luar Negeri
Adapun penumpang gelap berikutnya menurut Boni ialah kelompok radikal dan teroris. Boni menyebut kelompok radikal ini membawa agenda untuk mengubah sistem negara Indonesia demokrasi beriodeologi Pancasila menjadi khilafah. Selain itu, kata dia, kelompok teroris ingin menggunakan momentum perpecahan di antara masyarakat untuk melancarkan aksinya.
"Teroris kelompok yang terpisah, tapi dia melihat kekacauan ini momentum untuk bermain," kata Boni.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT sebelumnya juga menyebut kelompok Jamaah Ansharut Daulah atau JAD Lampung berencana mengebom sejumlah tempat di Jakarta Timur dan Bekasi saat pencoblosan 17 April lalu. Rencana itu berhasil dicegah oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror.
"Berbagai organisasi (teror) telah melebur ke dalam JAD. Mereka menganggap bulan puasa itu bulan amaliah, sehingga momentum pemilu juga dimanfaatkan untuk memperkeruh suasana," kata Direktur Penegakan Hukum BNPT Brigadir Jenderal Eddy Hartono, Selasa, 7 Mei 2019.