TEMPO.CO, Jakarta - Nama kelompok Anarko Sindikalis tiba-tiba mencuat pasca-peringatan Hari Buruh Rabu 1 Mei 2019. Adalah Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian yang mengungkap nama kelompok ini.
Baca juga: Moeldoko Menduga Aksi Anarko Sindikalisme Dilakukan Terstruktur
Tito mengungkapkan kelompok Anarko Sindikalis ini yang melakukan keributan dan aksi vandalisme di beberapa daerah saat peringatan Hari Buruh atau May Day. Tito menjelaskan paham Anarko Sindikalis merupakan fenomena internasional. Berkembang di Rusia, menyebar ke negara-negara lain di Eropa, dan mulai masuk di Indonesia beberapa tahun terakhir
"Ini memang ada semacam doktrin dari luar negeri mengenai masalah pekerja," katanya di Ruang Rapat Utama, Markas Besar Polri, Jakarta, Kamis, 2 Mei 2019.
Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta AB. Widyanta mengatakan Gerakan Anarko Sindikalis mendapat stigma atau cap mirip Komunisme.
Aksi komunitas punk sebelum kerusuhan pecah saat demo Hari Buruh Internasional atau May Day di Bandung, Rabu, 1 Mei 2019. Usai mengalami tindak kekerasan di Hari Buruh, Reza mengalami luka dan pembengkakan di bagian kaki kanannya, serta diperiksa di sebuah rumah sakit di Kota Bandung. TEMPO/Prima Mulia
Polisi, kata dia, mereproduksi gerakan itu seperti yang terjadi pada peristiwa 1965. Fobia terhadap gerakan Anarko Sindikalis itu menurutnya seperti menciptakan hantu baru (musuh) yang tidak perlu.
Widyanta menjelaskan Anarko Sindikalis merupakan cabang dari aliran pemikiran anarkisme yang mengkritik ketimpangan kelas. "Gerakannya nir-kekerasan, membela serikat buruh, persamaan, dan memperjuangkan keadilan sosial. Mereka mengusung pemenuhan hak buruh, hak hidup yang layak," kata dia.
Baca juga: Dua Jurnalis Foto Dianiaya Polisi Saat Meliput Hari Buruh
Menurut Widyanta Gerakan itu melawan fundamentalisme pasar atau kapitalisme yang sangat masif di Indonesia. "Idenya sama dengan yang diusung Marxisme," ujar dia.
Dosen yang mengajar teori-teori sosiologi dan sosiologi lingkungan ini menyebutkan kerap berdiskusi dengan aktivis Anarko. Spirit perjuangan mereka adalah memperjuangkan buruh dan melawan kapitalisme global yang mendera berbagai lini kehidupan. “Gerakan pembebasan buruh menjadi ruh mereka,” kata dia.
Anggota gerakan Anarko Sindikalis, kata Widyanta, punya militansi melawan kapitalisme, misalnya industri yang merusak lingkungan hidup dan pelanggar Hak Asasi Manusia. Kebanyakan dari mereka terjun langsung dan punya pengalaman menghadapi konflik agraria atau penyerobotan tanah atas nama infrastruktur.
"Gerakan mereka mengajak orang berpikir tentang persoalan-persoalan sosial, misalnya pembangunan atas nama infrasturktur dan turisme," kata dia.
AB. Widyanta menyebutkan pasca-reformasi gerakan ini makin membesar seiring dengan semakin berkembangnya serikat buruh di Indonesia. Gerakan ini, kata dia seharusnya diberi ruang dan tidak disingkirkan.
Tempo mengamati bagaimana gerakan Anarko Sindikalis menjalankan aksinya di Yogyakarta. Seorang aktivis yang mengenal seluk beluk Anarkisme menyebutkan Anarko Sindikalis mirip dengan aksi intifada di Palestina, yang menggunakan cadar dan juga mencorat coret tempat umum.
Gerakan mereka serupa dengan aksi mencoreti jalanan pra kemerdekaan Republik Indonesia. “Gerakan ini punya dasar yang sama dengan Marxisme, yakni menentang kapitalisme,” kata aktivis yang meminta namanya dirahasiakan itu.
Menurut dia, Anarko Sindikalis selama ini dianggap sebagai musuh negara karena memang anarkisme sangat mudah dipahami sebagai sebuah ideologi.
"Bila dibandingkan dengan ideologi lainnya semacam Komunisme, maka anarko sindikalis lebih mudah dipahami dan mudah diterima," ujar dia.
Anarko Sindikalis, kata dia, tidak selalu mencorat-coret tempat umum dalam setiap gerakannya. Cara mereka melawan kapitalisme bergantung pada target dan tujuannya.
"Anarko biasanya punya target umum, yakni mengganggu fasilitas-fasilitas perusahaan kapitalis yang bermasalah dengan pemenuhan hak-hak buruh," kata dia.
Ihwal perusakan fasilitas umum, kata dia masih menjadi perdebatan hebat di kalangan varian anarkis. Yang setuju dengan perusakan fasilitas umum punya argumentasi bahwa fasilitas yang dirusak itu belum tentu fasilitas umum, melainkan fasilitas milik kontraktor.
Fasilitas itu mengatasnamakan kepentingan umum, misalnya taman-taman kota yang hanya bisa diakses kalangan tertentu atau kalangan pemilik modal (borjuis). “Aksi-aksi itu jadi tradisi, termasuk pakaian hitam sebagai simbol saja,” kata dia.
Menurut aktivis ini, selama ini Anarko mendapatkan cap negatif karena ada upaya mendistorsi makna. Negara menggiring opini bahwa anarko merusak dan opini itu disebarkan melalui media massa. “Tujuan anarko sindikalis memang melenyapkan negara sehingga negara manapun pasti berupaya sekuat mungkin untuk membendung ide-ide mereka yang semakin membesar,” kata dia.
Baca juga: Hari Buruh di Bandung Ricuh, Polisi Tangkap Ratusan Orang
Seorang aktivis lainnya menyebutkan gerakan Anarko Sindikalis di Yogyakarta terhubung dengan Bandung. Gerakan Anarko Sindikalis tidak punya struktur organisasi dan pimpinan. Mereka bergerak secara kolektif atas kesadaran bersama untuk melawan kapitalisme.
Ia mengatakan, anak-anak muda tertarik bergabung dengan anarko sindikalis karena idenya tidak mau terikat dengan organisasi yang kaku. Secara kolektif gerakan ini mampu menyatukan anggotanya. “Cita-cita mereka masyarakat tanpa kelas dan struktur (birokrasi),” kata dia.
Di Yogyakarta gerakan Anarko Sindikalis masuk dalam aksi unjuk rasa menolak pembangunan Bandar Udara New Yogyakarta International Airport atau NYIA di simpang Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1 Mei 2018. Mereka memblokade lalu lintas Jalan Solo-Yogyakarta, membakar pos polisi yang berada di persimpangan.
Sejumlah orang bertopeng dan berpakaian hitam waktu itu membakar pos polisi. Mahasiswa yang mengikuti aksi itu menyebut semula aksi dirancang sebagai aksi damai tanpa merusak. Agenda yang diusung adalah menolak upah murah terhaadap buruh. Dalam persiapan rapat teknis, massa aksi itu hanya sepakat memblokade jalan.