TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta AB. Widyanta mengkritik Polri yang berlebihan dalam menangani gerakan Anarko Sindikalis yang ditangkap di Bandung dan kota lainnya.
Baca juga: Moeldoko Menduga Aksi Anarko Sindikalisme Dilakukan Terstruktur
Rencana Polri melibatkan Badan Intelijen Negara atau BIN untuk memantau gerakan Anarko Sindikalis dia pandang sebagai reaksi yang berlebihan. “Phobia yang berlebihan. Polisi sangat represif pada peringatan Hari Buruh di Bandung,” kata AB. Widyanta kepada Tempo, Jumat, 3 Mei 2019.
Gerakan Anarko Sindikalis, kata dia mendapat stigma atau cap mirip Komunisme. Polisi mereproduksi gerakan itu seperti yang terjadi pada peristiwa 1965. Phobia terhadap gerakan itu menurutnya seperti menciptakan hantu baru (musuh) yang tidak perlu.
Jejak vandalisme massa berbaju hitam berupa coret-coretan mengotori sebuah taman di Dago, Bandung, Jumat, 3 Mei 2019. Pada aksi May Day atau peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2019 lalu, kelompok massa Anarcho Syndicalism atau Anarko Sindikalisme melakukan sejumlah tindakan yang memancing kerusuhan pada peringatan Hari Buruh. TEMPO/Prima Mulia
"Polisi seharusnya tidak gegabah menangani gerakan ini dan tidak menjadikan gerakan itu sebagai kambing hitam," ujar Widyanta. Ia mengatakan, kekerasan dan pemberangusan terhadap gerakan Anarko Sindikalis justru menggambarkan ketidakdewasaan dalam berdemokrasi.
Widyanta mengatakan, ihwal tuduhan gerakan itu merusak fasilitas umum, polisi seharusnya berhati-hati menyelidikinya dan tidak asal tuding.
Dalam kondisi crowded, seharusnya polisi juga memperhatikan kondisi psikologis massa yang sedang melakukan aksi. "Aksi-aksi perusakan fasilitas umum misalnya bisa saja ditunggangi karena aktor dalam aksi itu jumlahnya banyak," ujar dia.
Sebelumnya pada aksi Hari Buruh atau May Day di Bandung, 1 Mei 2019 sekelompok massa berbaju hitam-hitam terlibat bentrok dengan aparat kepolisian. Mereka dituding telah merusak fasilitas umum. Polisi kemudian menangkap ratusan orang berbaju hitam-hitam itu.
Polisi membuka pakaian dan menggunduli kepala para anggota Anarko Sindikalis itu. Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian kemudian mengungkapkan bahwa massa berpakaian hitam-hitam itu adalah kelompok Anarko Sindikalis.
Menurut Tito, paham Anarko Sindikalisme merupakan fenomena internasional. Berkembang di Rusia, lalu menyebar ke negara-negara lain di Eropa. Paham ini mulai masuk ke Indonesia beberapa tahun terakhir.
Menurut Widyanta Anarko Sindikalis merupakan cabang dari aliran pemikiran anarkisme yang mengkritik ketimpangan kelas. Gerakannya nir-kekerasan, membela serikat buruh, persamaan, dan memperjuangkan keadilan sosial. "Mereka mengusung pemenuhan hak buruh, hak hidup yang layak," ujar dia.
Gerakan itu, kata Widyanta melawan fundamentalisme pasar atau kapitalisme yang sangat masif di Indonesia. Idenya sama dengan yang diusung Marxisme.
Dosen yang mengajar teori-teori sosiologi dan sosiologi lingkungan ini menyebutkan kerap berdiskusi dengan aktivis Anarko. Spirit perjuangan mereka adalah memperjuangkan buruh dan melawan kapitalisme global yang mendera berbagai lini kehidupan. “Gerakan pembebasan buruh menjadi ruh mereka,” kata dia.
Baca juga: Polri Libatkan BIN untuk Memantau Kelompok Anarko Sindikalisme
AB. Widyanta menyebutkan pasca-reformasi gerakan ini makin membesar seiring dengan semakin berkembangnya serikat buruh di Indonesia. Gerakan ini, kata dia seharusnya diberi ruang dan tidak disingkirkan.
Seorang aktivis yang mengenal seluk beluk Anarkisme menyebutkan Anarko Sindikalis mirip dengan aksi intifada di Palestina, yang menggunakan cadar dan juga mencorat coret tempat umum.
Gerakan mereka serupa dengan aksi mencoreti jalanan pra kemerdekaan Republik Indonesia. “Gerakan ini punya dasar yang sama dengan Marxisme, yakni menentang kapitalisme,” kata aktivis yang minta namanya dirahasiakan itu.