TEMPO.CO, Nusa Dua - Sejumlah jurnalis, akademisi, dan ahli Hak Asasi Manusia se-Asia Tenggara sepakat bahwa toleransi akan keberagaman yang ada di masyarakat harus diperjuangkan. Executive Director of The International Association of Religion Journalist, Endy Bayuni mengatakan peristiwa penembakan di Selandia Baru yang terjadi baru-baru ini menjadi bukti kalau toleransi harus diupayakan.
Baca: 4 Cara Mudah Mengajarkan Toleransi pada Anak
"Tragedi di New Zealand menjadi contoh kalau keberagaman tidak datang begitu saja. Intoleransi seperti ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Padahal keberagaam adalah fakta kehidupan dan ada di setiap tempat atau negara," kata Endy Bayuni di acara The Nexus between Freedom of Religion or Belief and Freedom of Expression in Southeheast Asia yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Senin 18 Maret 2019.
Dalam posisi ini, Endy melanjutkan, media menjadi salah satu unsur untuk memulai pehamaman tentang keberagaman itu, menghentikan ujaran kebencian, sekaligus kebebasan berekspresi. Khusus di wilayah Asia Tenggara, menurut dia, adalah kawasan yang memiliki banyak keragaman. Sebagai contoh, muslim menjadi mayoritas di Indonesia, Brunai Darussalam, dan Malaysia. Bergeser ke negara lain, muslim menjadi minoritas di Filipina, Timor Leste, dan Singapura yang dominan beragama Nasrani. Budha menjadi agama yang dianut mayoritas penduduk Thailand, Kamboja, dan Laos.
Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman atau SEJUK, Ahmad Junaidi mencemaskan menguatnya politik identitas di negara-negara kawasan yang berdampak pada pelanggaran hak-hak masyarakat yang berbeda agama atau keyakinan, etnis dan ekspresi politik. Menurut dia, proses-proses politik seperti pemilu di masing-masing negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, turut memarginalkan kelompok-kelompok minoritas dan mengkriminaslisasi jurnalis. “Regresi politik di Asia Tenggara ditingkahi dengan meningkatnya kriminalisasi terhadap jurnalis di negara-negara Asia Tenggara. Namun begitu, tidak bisa dipungkiri media turut memberitakan isu-isu minoritas dengan cara yang bias, bahkan ikut menstigma,” ujar Junaidi.
Baca juga: Jakarta Paling Intoleran Ketiga, Ini Hasil Survei Selengkapnya
Sebab itu, SEJUK bekerja sama dengan International Association of Religion Journalists dan Institute for Peace and Democracy Universitas Udayana menghadirkan para ahli HAM, jurnalis, dan akademisi di kawasan Asia Tenggara, Timor Leste dan Northeast India berpartisipasi menyikapi ancaman politik identitas dan otoritarianisme terhadap hak-hak dan kebebasan masyarakat dalam format Regional Seminar & Workshop. Kegiatan yang mengambil tema “The Nexus between Freedom of Religion or Belief, and Freedom of Expression in Southeast Asia” ini dilakukan di Nusa Dua, Bali, Indonesia, pada Senin - Rabu, 18 - 20 Maret 2019.
Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir mengatakan toleransi adalah tantangan besar di masyarakat. "Ada kebencian terhadap kelompok tertentu dan sebagian diwujudkan dalam bentuk kekerasan. Ini tidak benar," kata dia. Di ranah global, Fachir melanjutkan, banyak fobia yang muncul. "Tapi saya percaya keinginan kita untuk menghidupkan toleransi lebih besar dari para teroris itu."
Di Indonesia, Fachir melanjutkan, pemerintah telah melakukan banyak cara untuk menjamin kebebasan beragama dan berekspresi. Kebebasan tersebut tertuang dalam konstitusi, sampai konkretnya membuat hari libur nasional untuk setiap perayaan agama. "Dan menurut saya ini hanya ada di Indonesia, di mana setiap agama mendapatkan hari libur untuk setiap perayaan mereka," kata dia. Adapun kunci dari toleransi, Fachir melanjutkan, adalah pendidikan. "Penting untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya keberagaman dan bagaimana menanggapi itu."
Artikel terkait:
Gerakan Suluh Kebangsaan: Madura Laboratorium Toleransi Indonesia