TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Komite Khittah Nahdlatul Ulama (NU) Choirul Anam mengatakan kiai-kiai kultural yang tergabung dalam wadah tersebut menginginkan cara lembut untuk mendesak digelarnya Muktamar Luar Biasa NU. Menurut Choirul mereka tidak ingin frontal dan lebih memilih jalur damai.
“Ulama sepuh inginnya soft, ya, silakan. Tapi saya gerak sendiri melalui ormas PPKN (Pergerakan Penganut Khittah Nahdliyah) yang saya dirikan sejak dua tahun lalu,” ujar mantan Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional Ulama itu saat dihubungi Selasa, 5 Februari 2019.
Choirul berujar pendirian PPKN dilatarbelakangi rasa prihatin melihat arah NU yang makin jauh dari kitthah-nya. Ormas terbesar di Indonesia itu dinilai Choirul telah masuk terlalu jauh dalam ranah politik praktis. Puncaknya dengan pencalonan Rais Aam Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden Joko Widodo.
“Jadi dalam posisi Ketua Dewan Pembina PPKN, saya menyarankan pada NU kultural untuk mendesak PBNU menggelar MLB. NU sudah compang-camping, harus diluruskan. Ini bahaya, karena NU telah menjadi ormas penganut parpol,” ujar Choirul.
Choirul menuturkan sebagai Rais Aam, Ma’ruf Amin telah melanggar AD/ART sehingga kepengurusan yang ada sekarang harus diganti melalui muktamar luar biasa. Choirul membandingkan dengan sikap Rais Aam sebelumnya, Sahal Mahfudz, yang tegas menjaga khittah.
“Saat Kiai Hasyim (Ketua PBNU Hasyim Muzadi) jadi cawapres Megawati pada pilpres 2004, Kiai Sahal bilang ‘Syim kalau kamu jadi cawapres harus non-aktif dari PBNU, khittah biar saya yang jaga’. Gitu, itu baru Rais Aam namanya,” ucap Choirul.
Choirul tak khawatir pengguliran wacana Muktamar Luar Biasa NU ini bakal memecah belah warga nahdliyin. Menurut dia sejak Ma’ruf Amin jadi cawapres, warga NU sudah pecah. “Ini gara-gara Pak Jokowi nyomot NU tanpa musyawarah. Mestinya dengar dulu aturan di NU, dengar dulu suara alim ulama, baru semua paham dan tahu. O, Pak Jokowi harus didukung karena gini gini gini. Kan gitu mestinya,” ujarnya.
Ketua Bidang Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas membantah bahwa Ma'ruf Amin melanggar AD/ART NU. Alasannya, saat dia dicalonkan sebagai cawapres Jokowi, Ma'ruf langsung mengundurkan diri sebagai rais aam. "Oh, kalau itu sudah clear, clear," kata Robikin pada Tempo di Banjar, Selasa, 26 Februari 2019.
Robikin menjelaskan dalam AD/ART NU memang ada aturan mengenai rangkap jabatan, terutama dengan jabatan politik. Di tingkat PBNU, rais aam, wakil rais aam, ketua umum, dan wakil ketua umum dilarang rangkap jabatan dengan jabatan politik. "Dalam hal ini yang kebetulan menjabat, kalau mencalonkan atau dicalonkan, pilihannya ada dua, mundur atau dimundurkan. Dan beliau (Ma'ruf) sudah memenuhi mekanisme itu," ujarnya.
Sebelumnya Komite Khittah NU yang beranggotakan beberapa kiai sepuh, seperti Salahuddin Wahid dan Tolchah Hasan, mendesak digelarnya muktamar luar biasa. Mereka menilai kepengurusan di bawah ketua umum Said Aqil Siradj telah melanggar AD/ART. Komite Khittah menggelar serangkaian halaqah untuk menggulirkan wacana tersebut. Setelah pertemuan di Pasuruan pada akhir bulan lalu, bakal disusul halaqah berikutnya di Bandung pada 14 Maret ini.
KUKUH S. WIBOWO (Surabaya)