TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menanggapi kritik Front Pembela Islam (FPI) soal usulan penghapusan sebutan kafir ke nonmuslim Indonesia. Ketua PBNU Robikin Emhas mengatakan sebaiknya FPI terlebih dahulu membaca keputusan itu secara menyeluruh.
Baca juga: Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj: Yang Anti Pancasila, Usir
"Baca dengan baik dulu keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama, baru komentar," ujar Robikin melalui pesan singkat kepada Tempo, Ahad, 3 Maret 2019.
Menurut Robikin, pertimbangan penghapusan istilah kafir itu lebih ke konteks hubungan antarwarga negara. Sebab, kata dia, hal ini mengacu pada implementasi ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan sesama anak bangsa. "Maka sebagai implementasi komitmen ukhuwah wathaniyah, mereka nonmuslim cukup disebut warga negara," katanya.
Robikin mengatakan dalam usulan ini, NU tidak menghapus kata kafir dalam Al-Qur'an atau menghilang sebutan Yahudi dan Nasrani. Menurut dia, anggapan NU menghapus kata kafir di Al-Qur'an merupakan hal keliru.
Sebelumnya, Juru bicara FPI, Munarman, mengkritik cara berpikir usulan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU menghapus istilah kafir untuk nonmuslim Indonesia. Munarman mengkritik cara berpikir NU, yang ia sebut menyesatkan. Sebab, kata dia, tidak tepat memadankan konsep kafir dengan warga negara.
Munarman menyebut konsep kafir sudah lahir di dunia sejak ribuan tahun lalu, bahkan sebelum Indonesia merdeka. "Kata dan konsep kafir itu bukan ujaran kebencian ataupun diskriminasi, itu istilah yang diberikan Allah kepada manusia yang menutup diri dari kebenaran Islam yang dibawa melalui baginda Rasulullah SAW," ucapnya.
Baca juga: NU akan Sosialisasikan Pengapusan Sebutan Kafir untuk Nonmuslim
Disisi lain, Robikin menjelaskan istilah kafir dalam Islam sebenarnya dibagi menjadi beberapa jenis. Seperti, kata dia, kafir kafir harby, kafir dzimmy, kafir mu'ahad, dan kafir musta'min.
Robikin mengatakan beberapa istilah kafir itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Jenis-jenis kafir ini merupakan kategori sosiologis politis, bukan secara teologis. "Orang yang mengingkari risalah Nabi Muhammad disebut kafir secara teologis. Tetapi, fikih jihad membagi mereka berdasarkan kategori sikap sosial dan politis," ucapnya.