TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Perempuan untuk Keadilan Baiq Nuril Maqnun menyerukan enam hal terkait kasus yang menimpa guru honorer SMAN 7 Mataraman tersebut. Koalisi menyatakan prihatin dengan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan korban pelecehan seksual tersebut.
"Sudah saatnya semua intitusi pemerintah dan aparat penegak hukum bergerak untuk perubahan demi memberikan akses keadilan bagi perempuan," kata peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI) Maria Tarigan di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu, 24 November 2018.
Baca: Kepala Sekolah Pelapor Baiq Nuril Bungkam
Baiq Nuril merupakan guru honorer di SMAN 7 Mataram yang merekam pembicaraannya dengan mantan kepala sekolah, Muslim pada 2017 lalu. Dalam rekaman, si kepala sekolah melakukan pelecahan seksual dengan menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan perempuan yang bukan istrinya.
Nuril merekam percakapan tersebut sebagai cara untuk melindungi dirinya serta bukti bahwa dia tidak memiliki hubungan khusus dengan pelaku. Namun rekaman tersebut kemudian tersebar tanpa dikehendaki Nuril.
Muslim kemudian melaporkan Nuril dengan tuduhan menyebarkan rekaman tesebut. Majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram memutus Nuril tidak bersalah pada 2017. Hakim menyatakan yang mendistribusikan rekaman tersebut adalah rekan kerja Nuril.
Baca: Darurat Kekerasan Seksual dan Pembahasan RUU PKS yang Lambat
Jaksa mengajukan kasasi ke MA atas vonis tersebut. MA kemudian memutus Nuril bersalah dengan hukuman penjara selama enam bulan dan dena Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Maria mengatakan kasus ini akan menjadi preseden buruk dan membuat korban pelecahan seksual enggan melaporkan kasusnya ke polisi karena takut mengalami nasib seperti Nuril. Menurut dia, korban kekerasan seksual akan semakin bungkam karena tidak mendapatkan perlakukan adil dari aparat penegak hukum.
Karena itu koalisi menyatakan 6 sikap terkait kasus tersebut:
1. Pemerintah dan lembaga-lembaga Negara terkait agar segera memenuhi hak Baiq Nuril untuk mendapatkan rehabilitasi psikologi, sosial dan ekonomi serta proses hukum yang berpihak kepada korban kekerasan seksual.
2. Aparat Penegak Hukum agar memiliki perspektif hak perempuan korban kekerasan seksual.
3. Mahkamah Agung agar mengimplementasikan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang perempuan berhadapan dengan Hukum.
4. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung agar melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas kepada Hakim yang melakukan Pemeriksaan pada Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk melaksanakan persidangan dan pemeriksaan sesuai mandat Perma Nomor 3 Tahun 2017.
5. Aparat Penegak Hukum, supaya memasukan kondisi korban kekerasan seksual sebagai salah satu alasan yang meringankan dalam hal korban menjadi tersangka tindak pidana yang berkaitan langsung dengan kekerasan seksual yang dialaminya.
6. Pemerintah dan DPR RI segera melakukan pembahasan dan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar semakin banyak korban perkosaan mendapatkan keadilan dan tidak kembali mengalami korban berulang.
Baca: Menteri Yohana Ingin Pelaku Pelecehan Baiq Nuril Dihukum