Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Darurat Kekerasan Seksual dan Pembahasan RUU PKS yang Lambat

image-gnews
Massa yang tergabung dalam Aliansi Reformasi RKUHP melakukan aksi tolak RUU KUHP di Silang Monas, Jakarta, 10 Maret 2018. Dalam aksinya mereka mengatakan bahwa RUU KUHP berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual. TEMPO/Alfan Hilmi
Massa yang tergabung dalam Aliansi Reformasi RKUHP melakukan aksi tolak RUU KUHP di Silang Monas, Jakarta, 10 Maret 2018. Dalam aksinya mereka mengatakan bahwa RUU KUHP berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual. TEMPO/Alfan Hilmi
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat setiap dua jam, ada 3 perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan.

"Tahun 2012, kita sudah sampaikan ke publik dalam 10 tahun, 2001 hingga 2011 ternyata di Indonesia itu setiap hari 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual," kata Komisioner Komnas Perempuan, Azriana, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat, 23 November 2018.

Baca: Komnas Sebut Banyak Kekerasan terhadap Perempuan Tak Tertangani

Menurut Azriana, data tersebut sempat digunakan untuk mendesak Dewan Perwakilan Rakyat agar mengusulkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai inisiatif DPR. Saat ini, RUU PKS masih mandek pembahasannya.

Padahal, kata Azriana, sejak 2014, Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Lembaga itu mencatat pada 2014, ada 4.475 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak perempuan. Angka tersebut meningkat pada 2015 menjadi 6.499 kasus dan di 2016 menjadi 5.785 kasus.

Desakan untuk mengesahkan RUU PKS juga sebenarnya datang dari kancah internasional. Rena Herdiyani, Wakil Ketua Bidang Program Kalyanamitra yang menjadi anggota jaringan CEDAW Working Group Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia mendapatkan rekomendasi dari Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Perserikatan Bangsa-bangsa untuk membuat peraturan perundang-undangan yang menghapus kekerasan berbasis gender.

"Kekerasan berbasis gender salah satunya adalah kekerasan seksual, jadi pemerintah Indonesia wajib melaksanakan rekomendasi CEDAW tersebut," kata Rena.

Baca: Baleg DPR Setujui Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Menurut Rena, dalam rancangan UU PKS versi pemerintah justru belum mengangkat tentang perlindungan untuk korban dan tidak mengatur secara komprehensif bentuk-bentuk kekerasan seksual. "Sebenarnya belum sesuai prinsip CEDAW dan belum jelas kewajiban negaranya untuk memberikan perlindungan itu apa," kata dia.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) Ratna Bantara Munti mengatakan Indonesia jelas membutuhkan regulasi khusus untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Sebab, peraturan yang ada, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP masih lemah secara implementasi dan substansi. Sehingga, aturan itu tidak menyasar pada akar permasalahan kasus kekerasan seksual dan minim perlindungan pada korban.

Dalam KUHP, misalnya, hanya mengatur perkosaan dan pencabulan. Ratna menuturkan, definisi dari istilah tersebut dalam KUHP masih sebatas kontak fisik. "Konteksnya harus dibuktikan dengan adanya sperma, masuknya penetrasi penis ke kemaluan perempuan," kata dia.

Padahal, kata Ratna, kekerasan seksual tidak hanya sebatas fisik. Pada RUU PKS yang belum disahkan, memuat sembilan bentuk kekerasan seksual, di antaranya pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual dan perbudakan seksual.

 Suasana aksi Women’s March di depan Istana negara Jakarta, 3 Maret 2018. Dalam rangka menyambut Hari Perempuan Sedunia, ratusan wanita yang berasal dari berbagai organisasi turun ke jalan dalam satu gerakan Women's March dengan tajuk "Lawan Bersama Kekerasan Berbasis Gender". TEMPO/Fakhri Hermansyah

Ketua Indonesia Feminist Lawyer Club Nur Setia Alam Prawiranegara mengatakan banyak hak-hak korban kekerasan seksual yang ditanganinya tidak terwakili dalam undang-undang. Misalnya hak untuk aborsi bagi perempuan korban perkosaan. "Kalau aborsi dia sadar melakukan hubungan seksual kemudian bunuh anak itu pidana. Tapi kalau orang ini diperkosa, dia tidak menghendaki, dia punya hak si perempuan ini untuk aborsi," kata Alam.

Di sisi lain, para aktivis perempuan melihat semangat pemerintah memberantas kekerasan seksual belum sesuai harapan. Berdasarkan rumusan daftar inventarisasi masalah yang disusun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, beberapa bentuk kekerasan seksual malah dihapus. Kementerian itu masih menggunakan konsep lama terkait pencabulan dan perkosaan.

Selain harus memuat 9 bentuk kekerasan seksual, Ratna berharap RUU PKS memperhatikan hak-hak korban dari hulu ke hilir. Misalnya, pendampingan hukum, psikologis, medis, psikososial sampai pemulihan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sehingga, aspek-aspek tersebut nantinya akan mendorong terbentuknya penanganan yang terintegrasi atau one stop care centre. Di negara maju, kata Ratna, semua layanan crisis centre sudah satu atap. "Di gedung itu bagaimana korban cepat ditangani medis dan psikologis, di tempat itu juga ketika diambil keterangan psikolog keluar informasi terkait kasusnya pelakunya, jadi aparat hukum tidak usah nanya ulang," ujarnya.

Baca: 4 Tahun Jokowi, Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Marak Terjadi

Terakhir adalah soal kewajiban negara untuk memastikan restitusi atau ganti rugi untuk korban. Menurut Ratna, ada banyak kasus kekerasan seksual di mana pelaku tidak sanggup ganti rugi. Seharusnya, negara juga bisa memastikan korban mendapat hak-haknya, tidak hanya resitusi tapi juga kompensasi.

Sayangnya, pembahasan RUU PKS di Komisi VIII DPR berjalan lamban sejak ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Februari 2017. Sudah hampir dua tahun berjalan, panitia kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR masih berkutat menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU). Itu pun, kata Ratna, baru berlangsung lima kali, dan belum beranjak membahas bersama pemerintah.

Menurut Ratna, pembahasan RUU PKS harus segera diselesaikan sebelum masa jabatan anggota DPR periode sekarang berakhir. Sebab, jika tidak dibahas tahun ini, Ratna meyakini RUU PKS akan gagal disahkan dan harus memulai kembali dari nol oleh anggota Dewan di periode selanjutnya.

"Sistem pembahasan Prolegnas tidak mengenal keberlanjutan dari periode yang lalu. Artinya upaya yang dilakukan selama ini, sejak 2015 diusulkan masyarakat sipil hingga berhasil masuk Prolegnas menjadi sia-sia," kata Ratna.

 Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise saat menghadiri acara Deklarasi Penolakan Kekerasan, Eksploitasi, Persekusi Terhadap Perempuan dan Anak di Tugu Proklamasi, Jakarta, 9 Juni 2017. Dalam acara ini dilakukan tanda tangan dukungan terhadap penolakan kekerasan. TEMPO/Subekti.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengatakan RUU PKS masih dalam agenda pembahasan. Kementeriannya tetap mendesak DPR untuk melanjutkan RUU. "Saya atas nama pemerintah sudah sampaikan tanggapan presiden, tapi belum direspon balik oleh DPR," kata Yohana kepada Tempo, Kamis, 22 November 2018.

Menurut Yohana, RUU PKS menjadi penting karena menyangkut harkat dan martabat perempuan, juga laki-laki. Dengan situasi pelecehan dan eksploitasi terhadap perempuan, Yohana mengatakan bahwa pembahasan RUU PKS menjadi prioritas.

Terkait keluhan para aktivis mengenai DIM pemerintah, Yohana mengatakan masih membuka peluang untuk berdiskusi dan menerima masukan. "Saya akan undang aktivis untuk membahas khsuus. Banyak pasal-pasal yang dilihat pemerintah sudah masuk dalam regulasi lain. Tapi yang jelas, menurut saya, kita harus lihat kembali," kata dia.

Ketua Komisi VIII DPR, Ali Taher mengatakan RUU PKS masih dalam pembahasan di panitia kerja. Panja baru akan mengundang tokoh masyarakat, baik pro maupun kontra, serta perwakilan dari kalangan akademik. "Untuk mendiskusikan substansinya lebih mendalam, sehingga UU ini bisa lahir mewakili seluruh kepentingan stakeholder," kata Ali.

Menurut Ali, masih ada beberapa poin yang masih harus dikaji. Pihaknya ingin memastikan RUU PKS tidak akan menimbulkan persoalan sosial di kemudian hari.

FIKRI AGRI

Baca: Komnas Perempuan: Ratusan Perda Masih Diskriminatif terhadap Perempuan

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Kiai Abal-Abal Pemerkosa Santri di Semarang Divonis 15 Tahun Bui, Mantan Jamaah Harap Laporan Penggelapan Uang Segera Diusut

1 hari lalu

Muh Anwar alias Bayu Aji Anwari. Facebook
Kiai Abal-Abal Pemerkosa Santri di Semarang Divonis 15 Tahun Bui, Mantan Jamaah Harap Laporan Penggelapan Uang Segera Diusut

Muh Anwar, kiai abal-abal Yayasan Islam Nuril Anwar serta Pesantren Hidayatul Hikmah Almurtadho divonis penjara 15 tahun kasus pemerkosaan santri.


Istri Anggota TNI Ditahan usai Bongkar Dugaan Perselingkuhan Suami, Perempuan Mahardhika: Darurat Pemahaman Gender

2 hari lalu

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali Komisaris Besar Jansen Avitus Panjaitan (tengah) didampingi oleh Kepala Kepolisian Resor Denpasar Komisaris Besar Wisnu Prabowo (kanan) dan Kepala Penerangan Kodam IX/Udayana Kolonel Inf. Agung Udayana menunjukkan foto
Istri Anggota TNI Ditahan usai Bongkar Dugaan Perselingkuhan Suami, Perempuan Mahardhika: Darurat Pemahaman Gender

Perempuan Mahardhika mengatakan, polisi seharusnya melindungi perempuan seperti Anandira, korban perselingkuhan suami yang berani bersuara.


Bercanda Soal Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan Akui Salah dan Minta Maaf

5 hari lalu

Ivan Gunawan. Foto: Instagram/@ivan_gunawan
Bercanda Soal Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan Akui Salah dan Minta Maaf

Ivan Gunawan mengunggah video pada Ahad petang ini untuk meminta maaf atas candaan kekerasan seksual yang dilontarkannya.


Panen Hujatan Usai Buat Candaan Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan: Tarik Napas Dalam-dalam

6 hari lalu

Ivan Gunawan. Foto: Instagram/@ivan_gunawan
Panen Hujatan Usai Buat Candaan Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan: Tarik Napas Dalam-dalam

Ivan Gunawan menuai hujatan tajam usai membuat lelucon tentang kekerasan seksual yang melibatkan Saipul Jamil.


Kecanduan Pornografi Meningkat sejak Pandemi, Begini Kata Pakar

8 hari lalu

Ilustrasi menonton pornografi. Shutterstock
Kecanduan Pornografi Meningkat sejak Pandemi, Begini Kata Pakar

Kecanduan pornografi meningkat di masa pandemi Covid-19 bahkan anak yang masih kecil pun sudah terpapar.


BEM UI Kritik Penganiayaan TNI Terhadap Warga Papua, Dibalas Serbuan Tantangan KKN di Wilayah KKB Papua

12 hari lalu

Unggahan BEM UI di Instagram pad 26 Maret 2024. Instagram/bemui_official
BEM UI Kritik Penganiayaan TNI Terhadap Warga Papua, Dibalas Serbuan Tantangan KKN di Wilayah KKB Papua

Ini berawal saat BEM UI mengunggah kritik yang menyoroti kasus penganiayaan warga di Papua oleh aparat.


13 Anggota Satgas PPKS UI Mundur, Apa Tugas dan Wewenang PPKS di Perguruan Tinggi?

15 hari lalu

Aliansi BEM se-UI usai menggelar aksi simbolik menutup gerbang masuk gedung Rektorat UI sebagai bentuk dukungan terhadap Satgas PPKS, Kamis, 27 Juli 2023. TEMPO/Ricky Juliansyah
13 Anggota Satgas PPKS UI Mundur, Apa Tugas dan Wewenang PPKS di Perguruan Tinggi?

13 anggota Satgas PPKS UI mengundurkan diri. Bagaimana tugas dan wewenang PPKS perguruan tinggi tangani kekerasan seksual di lingkungan kampus?


13 Anggota Satgas PPKS UI Kompak Mundur, Ini Alasannya

16 hari lalu

Aliansi BEM se-UI usai menggelar aksi simbolik menutup gerbang masuk gedung Rektorat UI sebagai bentuk dukungan terhadap Satgas PPKS, Kamis, 27 Juli 2023. TEMPO/Ricky Juliansyah
13 Anggota Satgas PPKS UI Kompak Mundur, Ini Alasannya

Ketua Satgas PPKS UI Manneke Budiman menegaskan bahwa pernyataan pengunduran diri tersebut telah disepakati semua anggota.


Kiai Abal-Abal Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Santri di Semarang Dituntut 15 Tahun Penjara

22 hari lalu

Muh Anwar alias Bayu Aji Anwari. Facebook
Kiai Abal-Abal Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Santri di Semarang Dituntut 15 Tahun Penjara

Bayu Aji Anwari, pimpinan Yayasan Islam Nuril Anwar Kota Semarang dituntut 15 tahun penjara. Didakwa melakukan kekerasan seksual terhadap 6 santri.


Fakultas Filsafat UGM Dalami Dugaan Kekerasan Seksual Mahasiswa dengan Korban 8 Orang

31 hari lalu

Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. (FOTO ANTARA)
Fakultas Filsafat UGM Dalami Dugaan Kekerasan Seksual Mahasiswa dengan Korban 8 Orang

Fakultas Filsafat UGM menunggu laporan dari para korban untuk penanganan yang lebih tepat dan cepat.