TEMPO.CO, Jakarta – Vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Medan terhadap terdakwa kasus penistaan agama, Meiliana, menuai kritik. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Perundang-Undangan, Robikin Emhas menilai penyampaian keluhan terhadap suara azan yang dianggap terlalu lantang adalah bagian dari hak menyampaikan pendapat, bukan termasuk kategori penistaan agama. Karena itu, semestinya Meiliana tidak dihukum.
“Mengungkapkan keberatan karena suara azan yang terlalu lantang tak termasuk sebagai ekspresi kebencian terhadap golongan atau agama tertentu,” kata Robikin, Rabu, 22 Agustus 2018.
Baca: Ini Kronologi Kasus Penistaan Agama Meiliana di Tanjung Balai
Kasus Meiliana bermula ketika ia menyampaikan keluhannya mengenai suara azan dari masjid di dekat rumahnya yang terlalu lantang kepada tetangganya. Keluhan tersebut lantas disampaikan ke pengurus masjid.
Pengakuan Meiliana lantas menyinggung sejumlah orang yang berujung pada aksi massa yang merusak rumahnya. Bahkan, massa merusak dan membakar empat vihara di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 29 Juli 2016. Mereka berdalih Meiliana telah menistakan agama Islam karena mempersoalkan suara azan.
Kepolisian dan kejaksaan kemudian menyeret Meiliana ke meja pengadilan dengan tuntutan Pasal 156 dan 156a KUHP. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, Meiliana terbukti sengaja mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang bersifat permusuhan dan penodaan terhadap agama di muka umum. “Menjatuhkan kepada terdakwa pidana selama 1 tahun 6 bulan dikurangi masa tahanan,” kata ketua majelis hakim, Wahyu Prasetyo Wibowo pada Selasa, 21 Agustus 2018.
Baca: PBNU: Katakan Suara Adzan Terlalu Keras Bukan Penistaan Agama
Vonis terhadap Meiliana itu jauh lebih berat dibanding vonis terhadap para pelaku perusakan dan pembakaran vihara. Mereka hanya diberi sanksi 3 bulan penjara.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, menilai proses hukum terhadap Meiliana adalah bukti masih takutnya aparat penegak hukum terhadap aksi massa. Persidangan memang selalu diwarnai aksi massa yang meminta hakim menjatuhkan sanksi berat kepada Meiliana. “Nilai-nilai toleransi di masyarakat semakin tipis, lantaran perbedaan selalu ditanggapi dengan kriminalisasi,” kata Bonar.
Setara Institute mencatat dalam kurun 1,5 tahun terakhir ini sudah ada 19 kasus penistaan agama. "Itu semua hanya karena persoalan yang sebenarnya tak patut dijadikan perbuatan kriminal," kata Bonar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Anggara, mengatakan pasal karet dalam aturan penistaan agama kembali menunjukkan sisi multitafsir pada sebuah kasus hukum. Ia menilai vonis kepada Meiliana semakin membuktikan pasal tersebut kerap digunakan untuk menyerang kelompok minoritas.
Menurut dia, keberadaan pasal tersebut justru akan memperburuk iklim toleransi yang sudah dibangun masyarakat. “Seperti kebebasan beragama, kebebasan berpendapat juga dijamin konstitusi, dijamin Undang-Undang Dasar 1945,” kata Anggara.
Baca: Terdakwa Penistaan Agama Di Tanjung Balai Divonis 1,5 Tahun Penjara