TEMPO.CO, Medan - Setelah berlarut selama dua tahun, akhirnya pada Selasa, 21 Agustus 2018, Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis kepada Meiliana, warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara satu tahun enam bulan penjara atas kasus penistaan agama. Hakim menilai ia terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 a KUHP atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.
Kasus ini bermula pada Senin, 29 Juli 2016. Suasana di Jalan Karya Lingkungan I, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan tegang setelah seorang warga, yaitu Meiliana menyampaikan proses terhadap suara azan yang menggema dari Masjid Al Maksun. Berdasarkan penelusuran Tempo dua tahun lau, protes Meiliana disampaikan kepada salah seorang nazir masjid bernama Kasidik. Kasidik lalu memberi tahu teguran tersebut kepada jemaah masjid setelah Shalat Magrib.
Baca: PBNU: Katakan Suara Adzan Terlalu Keras Bukan Penistaan Agama
Setelah berdialog dengan jemaah masjid, Harris Tua Marpaung selaku Imam Masjid dan beberapa pengurus Badan Kemakmuran Masjid mendatangi rumah Meiliana. Di sana sempat terjadi perdebatan antara jemaah masjid dengan Meiliana.
“Lu, Lu yaa (sambil menunjuk ke arah jemaah masjid). Itu masjid bikin telinga awak pekak. Kalau ada pula jemaah minta berdoa, minta kakilah bujang, bukannya angkat tangan,” ucap Meiliana seperti diceritakan Harris Tua saat dijumpai Tempo di Masjid Al Maksun pada Kamis, 4 Agustus 2016.
Mengenai perkataan yang diucapkan Meiliana itu, kuasa hukum Meiliana, Ranto Sibarani meminta agar dibuktikan lewat rekaman. Dalam pledoinya, Meiliana hanya menyampaikan kepada seorang pemilik warung bernama Kasini alias Kak Uo soal volume pengeras masjid yang makin keras pada 22 Juli 2018. Kalimat yang saat itu disampaikan Meiliana adalah “Kak, dulu suara Mesjid kita tidak begitu besar ya, sekarang agak besar ya”, dengan nada yang pelan. "Tidak ada Meiliana melarang azan dikumandangkan. Namun kemudian kalimat tersebut berkembang kemana-mana dengan kalimat yang sudah sangat berbeda dengan yang sebenarnya" kata Ranto dalam pledoi itu.
1. Meiliana dan Suami Meminta Maaf
Perdebatan yang terjadi di rumah Meiliana pada 29 Juli 2016 tersebut tidak berlangsung lama karena suami Meiliana, Lian Tui, hadir menjadi penengah dan meminta maaf kepada jemaah masjid. Namun suasana kembali tegang setelah Meiliana kembali berteriak dan marah saat adzan Isya. Sikap itu membuat masyarakat makin emosi. Pengurus Badan Kemakmuran Masjid dan jemaah membawa Meiliana ke kantor Kelurahan Tanjung Balai Kota 1.
Baca: Terdakwa Penistaan Agama Di Tanjung Balai Divonis 1,5 Tahun Penjara
Di sana, Meiliana disoraki oleh masyarakat meski telah meminta maaf di hadapan Lurah Tanjung Balai Kota 1 saat itu, Edy Muriadi. “Enggak sempat buat permintaan maaf di atas kertas. Karena kami anggap sudah makin tidak kondusif, makanya dibawa ke Polsek Tanjung Balai,” kata Edy saat ditemui di kantornya, 4 Agustus 2016.
Edy sempat akan pulang usai membawa Meiliana ke kantor Polsek. Namun Camat Tanjung Balai Selatan memintanya kembali ke kantor polisi untuk mediasi. Di tengah mediasi, sekitar pukul 21.30 WIB sebuah kerusuhan pecah. Diduga warga dari luar kelurahan Tanjung Balai Kota 1 mendatangi rumah Meiliana dan melakukan pengrusakan.
2. Tiga Vihara dan 8 Kelenteng Rusak
Kerusuhan menjalar dari massa yang tidak diketahui asalnya itu menyerbu kelenteng dan vihara di sekitar Kota Tanjung Balai. Amukan massa berpuncak hingga penyerangan Vihara Tri Ratna dan Kelenteng Dewi Samudera yang terletak di tepi Sungai Asahan menjelang subuh. Sepanjang malam itu suasana mencekam.
Dampaknya, sedikitnya tiga vihara, 8 kelenteng, dua yayasan Tionghoa, satu tempat pengobatan dan rumah Meiliana rusak. Sebanyak 20 orang juga sempat ditahan polisi karena dianggap menjadi pelaku pengrusakan.
Buntut dari rangkaian peristiwa itu, Meiliana menjadi tersangka penistaan agama pada Maret 2017 hingga diseret ke meja hijau. Sekitar 8 orang yang terlibat pengrusakan vihara dan klenteng juga diseret dan dihukum sekitar 1-3 bulan penjara.
Usai mendengarkan vonis, Meiliana yang hadir memakai kemeja putih langsung tertunduk lesu. Ia tampak menahan tangis.
Putusan yang dijatuhkan majelis hakim itu sesuai dengan tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Tanjung Balai. Meski demikian, jaksa mengaku masih akan pikir-pikir terkait langkah selanjutnya dari putusan peradilan. “Kami akan menggunakan waktu 7 hari untuk pikir-pikir dulu," kata Anggia Sinaga, salah satu jaksa.
3. Cerita Saat Berbelanja pada 22 Juli 2016
Di tempat terpisah, kuasa hukum Meiliana menegaskan akan melakukan banding terhadap putusan yang menjerat kliennya. “Iya, harapan kami banding lah, karena enggak ada bukti. Bagaimana tindak pidana enggak ada bukti," ujar salah seorang tim kuasa hukum Meiliana, Ranto Sibarani.
Ranto menjelaskan bahwa apa yang didakwakan jaksa kepada kliennya tidak dapat dibuktikan. Dalam dakwaan, jaksa menyatakan Meiliana melarang adzan. Nyatanya, menurut Ranto, di tanggal tersebut massa beramai-ramai mendatangi rumah Meiliana untuk melempari dan membakar rumah.
Meiliana, menurut Ranto, hanya mempertanyakan mengapa suara adzan kepada seorang pedagang saat berbelanja pada 22 Juli 2016. “Sekarang suara masjid kita agak besar ya,” ungkap Ranto menirukan kata-kata Meiliana kepada penjual yang biasa dipanggil Kak Uwo.
Menurut Ranto, percakapan tersebut juga sudah dibenarkan oleh penjual saat persidangan. Nada suara Meiliana saat menyampaikan tersebut juga disebutnya pelan dan dinyatakan secara personal kepada penjual.
Sementara itu dalam proses persidangan, jaksa disebut hanya mencatumkan alat bukti surat dua unit pengeras suara merek TOA dan amplifier merek TOA. “Nah itu memberikan petunjuk apa dalam dakwaannya,” kata Ranto.
4. Rekaman Tak Pernah Diperlihatkan Jaksa
Alat bukti lain yang menjerat Meiliana adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh 100 orang anggota BKM Al Maksun dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Utara yang menyatakan Meiliana melakukan penodaan agama.
“Besok-besok datang orang 100 orang buat surat pernyataan, si A membunuh. Tidak ada fakta yang lain, hanya surat pernyataan. Ditambah lagi Fatwa MUI bahwa si A membunuh, ya sudah kita pidana lah dia. Mana bisa begitu”, kata Ranto,
Menurut dia, jaksa hanya bertahan dengan surat pernyataan dan Fatwa MUI tersebut. Padahal dalam persidangan sudah dihadirkan ahli untuk mempertanyakan apakah kedua hal tersebut bisa dijadikan alat bukti. “Kedua ahli itu menyatakan satu-satunya cara menguji kesahihan atau kebenaran dari suatu ucapan seseorang yang sudah dituliskan, itu adalah dengan memperdengarkan rekamannya. Rekaman tidak pernah dihadirkan oleh jaksa sebagai barang bukti di persidangan,” kata Ranto.
Saat ini, tim kuasa hukum Meiliana sekarang dalam proses menyusun dan mempersiapkan banding kepada putusan yang telah dikeluarkan Majelis Hakim.
Catatan koreksi: Bagian awal berita ini dikoreksi pada Sabtu, 25 Agustus 2018 pukul 22.30 WIB dengan menambahkan keterangan dari pihak Meliana untuk menjaga keberimbangan. Terima kasih.