TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK mengatakan politik identitas selalu ada di negara-negara demokrasi. Bedanya di Indonesia, sikap tersebut tidak separah yang dibicarakan masyarakat.
Baca juga: Azyumardi Azra: Politik Identitas Tak Efektif di Pilpres 2019
JK mencontohkan peristiwa di pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017. Pesta demokrasi itu dianggap membuat perpecahan di masyarakat. Anggapan itu, kata JK, tak benar.
"Banyak orang salah kaprah, seakan-akan Pilkada Jakarta itu menyebabkan perpecahan, ada suatu politik identitas yang besar. Memang itu terjadi, tetapi tidak separah apa yang dikatakan," kata dia di Hotel Aryaduta Jakarta, Kamis, 2 Agustus 2018.
JK merujuk kepada hasil Pilkada DKI Jakarta. Berdasarkan data, pasangan Ahok-Djarot lebih banyak dipilih masyarakat Islam. Pemilih non Islam di Jakarta tercatat sebanyak 21 persen sementara pasangan tersebut memperoleh suara hingga 43 persen.
"Jadi lebih banyak pemilih Islam yang memilih Ahok dibandingkan pemilih non Islam. Berarti, sebenarnya, tidak ada, tidak terbelah ini, politik identitas," ujar JK.
Baca juga: Alfan Alfian: Politik Identitas Bisa Mengancam Demokrasi
JK mengatakan kondisi politik identitas lain lagi dengan di Amerika. Di sana, butuh sekitar 175 tahun untuk presiden beragama Katolik. Selain itu, perlu 240 tahun untuk orang kulit hitam bisa jadi presiden.
Melihat kondisi tersebut, JK mewajarkan jika presiden di Indonesia selalu berasal dari Jawa. "Presiden kita umumnya dari Jawa, ya itu karena 60 persen penduduk Indonesia itu di Jawa. Maka akan terjadi (orang memilih) orang yang dia kenal," ujarnya.