TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menerima perwakilan Aliansi Reformasi KUHP untuk membahas mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP) yang sedang digodok di DPR.
Moeldoko menuturkan Aliansi Reformasi KUHP menilai belum waktunya RKUHP disahkan. Mereka khawatir aturan itu menyengsarakan rakyat, berimplikasi pada demokrasi, dan belum sepenuhnya mendukung pemberantasan korupsi.
"Aliansi Reformasi KUHP Nasional berharap pengesahan RKUHP dapat ditunda dan Kementerian Hukum dan HAM membuka kembali ruang diskusi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk menciptakan proses pembahasan dan perumusan kebijakan yang inklusif dan pro-rakyat kecil," kata Moeldoko usai pertemuan di kantornya pada Senin, 25 Juni 2018.
Baca: Jokowi Akan Segera Bertemu dengan Pimpinan KPK Bahas RKUHP
Moeldoko pun mendapatkan sejumlah catatan dari aliansi tersebut. Salah satunya, RKUHP dinilai bisa menghukum kelompok rentan dan miskin karena tidak memiliki bukti perkawinan. RKUHP memberi ancaman pidana pada hubungan seks di luar pernikahan yang diakui oleh negara. Hal ini berpotensi menimbulkan kriminalisasi bagi kelompok miskin yang 55 persennya tidak memiliki bukti perkawinan dan tinggal di daerah yang jauh dari fasilitas pencatatan sipil.
Pengesahan RKUHP juga berpotensi menghambat program pendidikan 12 tahun. Aliansi Reformasi RKUHP menilai pernikahan akan semakin dirasa sebagai pilihan rasional untuk menghindari ancaman penjara akibat perilaku seks di luar nikah.
Catatan lainnya adalah larangan penyebaran informasi tentang kontrasepsi dalam RKUHP. Kebijakan itu berpotensi menghambat program kesehatan dan akses terhadap layanan HIV. Kementerian Kesehatan mengandalkan tokoh-tokoh masyarakat untuk menyebarluaskan kampanye tersebut. Kelompok masyarakat inilah yang justru berpotensi untuk terjerat pidana.
Baca: KPK Siapkan Argumen sebelum Bahas RKUHP dengan Jokowi
Moeldoko juga diberi tahu bahwa KUHP memuat 1.154 pasal dengan ancaman pidana penjara. Padalah pemerintah sedang kesulitan menghadapi kelebihan kapasitas penjara. Anggaran Polri juga hanya cukup untuk membiayai sepertiga laporan yang diterima kepolisian.
Aliansi Reformasi KUHP juga menyampaikan banyak catatan terkait tindak pidana khusus. Untuk korupsi, RKUHP disebut berpotensi menimbulkan duplikasi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. RKUHP tidak secara tegas mengatur tentang tidak ada batasan mengenai daluwarsa penuntutan dan menjalankan pidana untuk tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM.
Menurut mereka, masih banyak penerjemahan dan pengadopsian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengalami kesalahan. Moeldoko mengatakan, kondisi tersebut diprediksi akan memperburuk pendefinisian kejahatan-kejahatan ini.
Baca: ICW Nilai Pasal RKUHP Berpotensi Ancam Kebebasan Pers
Anggota aliansi, Lalola Easter, menyampaikan keprihatinan masyarakat terkait hilangnya kekhususan (lex specialis) UU Tindak Pidana Korupsi akibat RKUHP dan potensi duplikasi pengaturan sampai peluang korupsi dagang pasal. Sebagai contoh, delik melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain memiliki minimal denda pidana Rp 200 juta dalam UU Tindak Pidana Korupsi namun delik yang sama memiliki denda pidana hanya Rp 10 juta. "Pengesahan RKUHP berpotensi melemahkan semangat pemberantasan korupsi," kata dia.
Anggota lainnya, Christian Dominggus, mengatakan Presiden Joko Widodo akan menghadapi banyak pertanyaan kontroversial jika RKUHP disahkan. "Presiden Joko Widodo akan dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai presiden pertama yang mengajukan Rancangan KUHP dengan banyak pasal yang kontroversial," kata dia.
Moeldoko mengatakan kajian dari Aliansi Reformasi KUHP akan dipelajari dan dilaporkan kepada Presiden. Ia memastikan pemerintah tak akan merugikan rakyat dengan RKHUP tersebut. “Kami sangat mengapresiasi perjuangan teman-teman, semua masukan serta kritikan kami catat dan akan kami pelajari," kata dia.