TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Indonesian Corruption Watch (ICW) Lalola Ester menilai beberapa pasal pada Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi mengancam kebebasan pers dan pegiat antikorupsi. “RKUHP saat ini mengatur banyak pasal pidana yang berpotensi digunakan untuk membungkam para pegiat anti korupsi dan masyarakat umum,” kata Lalola di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Ahad, 10 Juni 2018.
Ancaman tersebut, kata dia, bermula dengan keberadaan Pasal 238 yang mengatur penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Pasal 259 RKUHP tentang pernyataan permusuhan pada pemerintah, juga dihidupkan kembali setelah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Dengan pasal ini, seseorang bisa dijerat pidana jika dianggap menghina pemerintah.
Baca: Delik Khusus di RKUHP Masih Menyisakan Masalah
Tak hanya itu, Lalola menganggap keberadaan pasal itu berpotensi mengancam kebebasan pers. Menurut dia, kebebasan pers akan terbelenggu jika RKUHP masih mengatur ketentuan yang multitafsir, utamanya yang berkaitan dengan pemberitaan. "Kami menyebutnya pasal zombie," ujar Lalola.
Menurut Lalola, meskipun kebebaswan pers diatur dalam Undang-Undang tentang Pers, pola potensi kriminalisasi akan terus berlanjut dengan adanya pasal yang multitafsir. "Pola kriminalisasi yang bergeser pada narasumber yang tidak dilindungi oleh UU Pers menjadi satu isu tersendiri,” ujarnya.
Baca: Tujuh Alasan RKUHP Harus Dihentikan