TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan menggelar rapat pleno untuk membahas sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dianggap tidak konsisten saat memberikan keterangan perihal dugaan pelanggaran kampanye Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Inkonsistensi ini dinilai Bawaslu menjadi penyebab dihentikannya penyidikan perkara PSI di kepolisian. “Kami plenokan nanti langkah apa yang akan kami lakukan,” ujar anggota Bawaslu, Ratna Dewi, saat dihubungi Tempo, Sabtu, 2 Juni 2018.
Baca: Alasan Polisi Keluarkan SP3 Kasus Dugaan Pidana Pemilu PSI
Bawaslu sebelumnya melaporkan PSI ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri lantaran memasang iklan di koran Jawa Pos pada 23 April lalu. Iklan itu menampilkan logo dan nomor urut partai. Bawaslu menilai iklan itu termasuk pelanggaran iklan di luar jadwal berdasarkan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019 yang mengatur masa kampanye di media massa pada 24 Maret 2019 hingga 13 April 2019.
Setelah berjalan sepekan, kepolisian menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara atas dugaan tindak pidana pemilihan umum PSI. Alasannya, KPU mengaku belum menetapkan jadwal kampanye. Selain itu, peraturan KPU tentang kampanye belum disahkan. “Saat diperiksa di sentra penegakan hukum terpadu (beranggotakan Bawaslu, kepolisian, dan Kejaksaan Agung), KPU menyebut PSI melanggar,” kata Ratna.
Juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, membenarkan bahwa pihaknya telah menghentikan penyidikan perkara PSI pada 31 Mei lalu. Dalam proses penyidikan, kata dia, penyidik telah meminta keterangan dari KPU, Bawaslu, dan Kejaksaan Agung. "Berdasarkan hasil gelar perkara, disimpulkan bahwa kasus PSI tidak termasuk tindak pidana pemilu," ujar Setyo, Minggu, 3 Juni 2018.
Baca: Kata Pengamat Soal Perdebatan Bawaslu dan KPU terkait Kasus PSI
Anggota KPU, Wahyu Setiawan, membantah tudingan Bawaslu bahwa dirinya memberikan pernyataan yang tidak konsisten. "Bukan perbedaan pernyataan, tapi memang ada pertanyaan yang berbeda," kata dia. Wahyu pun menegaskan bahwa KPU memang belum menerbitkan peraturan mengenai jadwal kampanye Pemilihan Umum 2019.
Pakar hukum tata negara Refly Harun berpendapat bahwa keputusan akhir ihwal pelanggaran administrasi pemilu merupakan kewenangan KPU. Sedangkan ranah Bawaslu adalah mengkaji laporan dan menyelesaikan sengketa pemilu. “Keduanya sudah memiliki peran masing-masing,” ujar Refly saat dihubungi.
Dalam Pasal 492 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, diatur bahwa peserta pemilihan yang melakukan kampanye di luar jadwal yang ditetapkan KPU bisa dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta. Pasal 1 ayat 35 undang-undang yang sama menyebutkan definisi kampanye sebagai kegiatan peserta pemilihan atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilihan.
DEWI NURITA | IMAM HAMDI | ANDITA RAHMA