TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD tak ambil pusing soal adanya uji materi tentang Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Mahfud mempersilakan masyarakat mengajukan uji materi jika menilai ada ketidakberesan dalam peraturan itu.
"Silakan ke Mahkamah Agung. Itu jalur yang betul kalau ada dugaan penyalanggunaan wewenang," kata Mahfud di kantornya di Jakarta, Kamis, 31 Mei 2018.
Baca: Yudi Latif Sebut Hampir Setahun Pegawai BPIP Tidak Dapat Gaji
Mahfud juga mempersilakan masyarakat bertanya kepada Kementerian Keuangan yang berwenang mengatur hak keuangan yang diterima BPIP. Menurut dia, pejabat BPIP tak ikut campur dalam penyusunan jumlah hak keuangan yang akan diterima. "Kami kan tidak pernah buat dan usul," ujarnya.
Hak keuangan BPIP diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP. Aturan itu menuai polemik. Salah satunya, karena peraturan itu tidak merinci setiap hak keuangan tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebelumnya, menjelaskan hak keuangan terdiri dari gaji pokok sebesar Rp 5 juta dan dana operasional Rp 13 juta serta ditambah tunjangan. Total hak keuangan untuk Ketua Dewan Pengarah BPIP sebesar mencapai Rp 112 juta per bulan. Anggotanya akan membawa pulang Rp 100 juta.
Baca: Peran BPIP di Tengah Persoalan Gaji yang Jadi Sorotan
Hak keuangan itu hingga kini bulan dibayarkan pemerintah kepada pejabat BPIP. Sejak didirikan 11 bulan lalu, Dewan Pengarah mengaku belum menerima hak keuangannya.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung agar peraturan presiden itu dibatalkan. MAKI menilai dewan pengarah atau penasehat BPIP bersifat sukarelawan. Hak keuangan yang diberikan kepada mereka seharusnya bersifat kondisional. Perhitungan ini berbeda dengan kepala hingga deputi BPIP yang merupakan jabatan fungsional sehingga harus diberi hak keuangan setiap bulan.