TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon mengatakan langkah Kementerian Agama (Kemenag) yang merilis 200 mubalig atau penceramah yang direkomendasikan pemerintah sebagai kebijakan yang cacat secara metode. “Jangankan untuk level Indonesia, di Jakarta saja yang memiliki ribuan masjid, musala dan majelis taklim ada ribuan ustad dan mubalig di sana,” cuit Fadli di akun Twitter-nya @fadlizon, Ahad, 20 Mei 2018.
Fadli khawatir rilis 200 penceramah yang dikeluarkan Kemenag akan menguatkan segregasi atau pemisahan kelompok ras atau etnis secara paksa, yang ada di tengah masyarakat. Di tengah pluralitas pemahaman dan keyakinan agama yang ada di tengah masyarakat muslim Indonesia, kata dia, Kemenag mestinya menjadi moderator yang baik.
Baca: Kemenag Daftar 200 Penceramah, MUI Sebut Masyarakat Sudah Cerdas
Menurut Fadli mengeluarkan 200 daftar nama mubalig yang direkomendasikan dari penduduk lebih dari 200 juta umat muslim di Indonesia bukanlah kebijakan yang mudah diterima. “Katakanlah jumlah mubalig atau ulama sekitar 5 persen dari populasi muslim yang 200 juta. Maka jumlahnya ada sekitar 10 juta orang. Bagaimana Kemenag mengeluarkan rilis 200 nama dari 10 juta orang tadi? Bagaimana menyaringnya?” tanya Fadli.
Fadli menuturkan publik bisa berbalik mencurigai daftar penceramah itu sebagai bagian dari sensor terhadap para ulama yang tidak sehaluan dengan pemerintah. Apalagi, kata dia, dalam daftar tersebut tidak tercantum nama mubalig terkemuka yang dikenal kritis terhadap pemerintah. “Kebijakan semacam ini hanya akan kian mengeraskan segregasi yang ada di tengah masyarakat.”
Jika pemerintah ingin membidik penceramah yang menyusupkan paham-paham radikalisme atau intoleransi dalam ceramahnya, mestinya yang bersangkutan dibidik saja langsung menggunakan perangkat hukum yang berlaku. Namun, jerat hukum pun menjadi pilihan terakhir pemerintah. Pilihan pertama yang mestinya tetap dilakukan adalah merangkul dan membangun dialog.
Simak: Tak Masuk Daftar 200 Mubalig Kemenag, Ini Kata Ustaz Abdul Somad
Fadli menuturkan jangan sampai kebijakan ini menimbulkan kesan bahwa semua pihak yang berseberangan dengan pemerintah kemudain dianggap sebagai orang yang radikal dan intoleran. “Framing semacam itu berbahaya karena akan memperuncing konflik dan bukannya membangun dialog, rekonsiliasi dan saling pengertian,” ucapnya.
Menurut politikus Gerindra tersebut, lebih baik masalah seperti ini dikembalikan kepada lembaga-lembaga seperti Majelis Ulama Indoneisa, atau Dewan Masjid Indonesia. Sebab, Kemenag sebagai lembaga pemerintah mesti bisa berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. “Jangan sampai Kemenag terjebak pada kepentingan politik jangka pendek pemerintah,” ucapnya.