TEMPO.CO, Surabaya – Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan tengah mematangkan pusat penanganan trauma atau trauma center untuk menangani anak pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya yang selamat berinisial AAP. Dalam menangani anak pelaku teror bom Surabaya, Risma menuturkan pihaknya bekerja sama dengan kepolisian. “Kami bekerja sama dengan kepolisian membentuk trauma center untuk tangani itu," katanya kepada wartawan di Gedung Wanita, Surabaya, Rabu, 16 Mei 2018.
AAP, 7 tahun, masih menjalani pemulihan di Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Daerah Jawa Timur. Tubuh mungilnya sempat terpental sebelum akhirnya diselamatkan anggota kepolisian, Ajun Komisaris Besar Roni Faisal, setelah bom yang dibawa orang tuanya, Tri Murtiono dan Tri Ernawati, meledak di pintu gerbang.
Baca: Pelaku Bom Surabaya Pernah Bertemu Napi Teroris di Tulungagung
Penanganan paling tepat bagi gadis cilik itu, kata Risma, masih dipikirkan. Sebab, ketakutan juga dirasakan teman sekolahnya. "Ini biar kepolisian yang menyelesaikan dulu. Karena, mohon maaf, yang trauma bukan anak teroris saja. Itu teman sekolahnya juga ketakutan," tuturnya.
Teman sebangku anak pelaku teror, Risma melanjutkan, juga ketakutan dan trauma. “Mereka enggak mau sekolah karena takut dianggap teman dari pelaku atau apa. Padahal bisa saja temannya selama ini berkawan, ya, tidak tahu apa-apa karena, ya, biasa saja," ujarnya.
Pemerintah Kota Surabaya juga membentuk tim gabungan antara kepolisian dan psikolog dari universitas untuk mendampingi pihak keluarga yang menjadi korban bom. Risma telah berkoordinasi dengan jemaat gereja, organisasi perangkat daerah terkait, serta profesi himpunan psikologi klinis dan sekolah. “Metode pendampingan satu anak akan didampingi satu psikolog, baik ketika di rumah sakit, di rumah, maupun di sekolah,” ucapnya.
Simak: Erna Pelaku Bom di Polrestabes Surabaya, Tetangga Histeris
Risma menekankan pentingnya mengantisipasi bibit-bibit radikalisme dengan mendeteksi sedini mungkin perilaku anak. Para guru diminta memperhatikan dan melaporkan anak yang secara tiba-tiba tidak sekolah.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Antiek Sugiharti menambahkan, terdapat 100 lebih psikolog yang dikerahkan. "Dari Asosiasi Psikolog dan Dinas Kesehatan," katanya.
ARTIKA RACHMI FARMITA