TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid mengungkapkan pemerintah sudah habis-habisan atau "all out" dalam menangani kasus TKI Zaini Misrin, yang dihukum pancung di Arab Saudi.
"Sejak awal, pemerintah sudah melakukan upaya-upaya maksimal. Sejak zaman Presiden SBY, kemudian Presiden Jokowi, pemerintah sudah 'all out' melakukan pembelaan. Dan setelah ada informasi eksekusi, tim juga langsung berkunjung ke pihak keluarga Zaini di Madura," kata Nusron Wahid, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin, 19 Maret 2018.
Baca juga: Migrant Care: Eksekusi Mati TKI Zaini Misrin Melanggar HAM
Nusron menjelaskan pada Januari 2017, Presiden Joko Widodo menyampaikan surat kepada Raja Saudi yang intinya meminta penundaan guna memberikan kesempatan kepada pengacara untuk mencari bukti-bukti baru. Pada Mei 2017, surat Presiden ditanggapi Raja yang intinya menunda eksekusi selama enam bulan.
September 2017, Jokowi kembali mengirimkan surat kepada Raja yang intinya menyampaikan bahwa Tim Pembela Zaini menemukan sejumlah novum/bukti baru, yang salah satunya adalah kesaksian penerjemah dan meminta perkenan Raja untuk dilakukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus ini.
Baca juga:
"Pada tanggal 20 Februari 2018, diterima Nota Diplomatik resmi dari Kemlu Saudi yang intinya menyampaikan persetujuan Jaksa Agung Arab Saudi untuk dilakukan PK atas kasus ini, khususnya untuk mendengarkan kesaksian penerjemah di Pengadilan Mekkah," kata Nusron.
Sesuai dengan Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) Arab Saudi Pasal 206, untuk kasus-kasus pidana dengan ancaman hukuman badan (qishas, ta'zir, had dan lainnya), hukuman secara otomatis ditangguhkan sampai proses PK selesai.
Pada 6 Maret 2018, diterima konfirmasi dari Mahkamah Mekkah bahwa surat permintaan pengacara kepada Mahkamah Mekkah untuk mendengarkan kesaksian penterjemah sudah diterima dan Mahkamah meminta waktu untuk mengumpulkan berkas-berkas perkara.
Pada 18 Maret 2018, sekitar pukul 10.00 waktu setempat, diterima kabar bahwa Zaini akan dieksekusi. Setelah mendapatkan informasi itu, pemerintah meminta pengacara untuk mengonfirmasi kebenaran berita tersebut.
"Setiba di penjara Mekkah, seluruh jalan di sekitar penjara sudah diblokade. Pada sekitar pukul 10.30 dan eksekusi diperkirakan dilakukan pada pukul 11.30 waktu setempat," katanya.
Nusron mengungkapkan, hukum tindak pidana di Saudi itu ada dua: aammah (umum) dan syaksyiyyah (pribadi). Kalau pribadi memang sangat tergantung pengampunan dari ahli waris. Intervensi negara dan raja tidak berlaku.
"Kasus pembunuhan Zaini Misrin ini masuk kategori syakhsiyyah. Kalau pidana ammmah seperti merusak gedung dan membuat ketertiban umum, asal dapat pengampunan raja dan negara itu bisa," kata Nusron.
Zaini Misrin ditangkap oleh Kepolisian Mekkah 13 Juli 2004 karena tuduhan melakukan pembunuhan terhadap majikannya atas nama Abdullah bin Umar. Penangkapan dilakukan atas laporan anak kandung korban, dimana Zaini saat itu adalah sopir pribadi Abdullah bin Umar.
Sejak saat penangkapan, KBRI Riyadh maupun KJRI Jeddah tidak pernah memperoleh notifikasi mengenai kasus ini dari Pemerintah Arab Saudi. Baru setelah Pengadilan Negeri Makkah (Mahkamah Aam) memutuskan hukuman mati qishas pada November 2008, KJRI memperoleh pemberitahuan dari Pemerintah Arab Saudi.
Dalam proses penyidikan/interogasi, Zaini didampingi tiga penerjemah. Namun, dari tiga penerjemah itu, satu orang penerjemah atas nama Abdul Azis menolak menandatangani BAP karena merasa apa yang diterjemahkannya tidak sesuai dengan apa yang tertuang dalam BAP. Begitu mengetahui keputusan tersebut, KJRI Jeddah melalui pengacara mengajukan banding. Namun dalam sidang banding dan kasasi, pengadilan menguatkan keputusan sebelumnya.
Sejak mengetahui kasus ini pada 2008, beberapa upaya yang telah dilakukan Pemerintah antara lain 40 kali kunjungan ke penjara; dua kali penunjukan pengacara (2011-2015 dan 2016-sampai saat ini); dua kali fasilitasi kekuarga di Indonesia untuk bertemu dengan keluarga korban (2015 dan 2017); 16 kali pendampingan di mahkamah, lembaga pemaafan dan kepolisian.
Selain itu, pemerintah sudah 42 kali mengirim nota diplomatik dan surat dari Dubes/Konjen RI kepada Kemlu Saudi dan pejabat tinggi Arab Saudi lainnya.
"Sejak kasus Zaini Mizrin itu, pemerintah yang melalui Presiden langsung dalam upaya pembelaan adalah satu kali surat Presiden SBY, dan dua kali surat Presiden Jokowi kepada Raja Saudi," kata Nusron Wahid.