TEMPO.CO, Jakarta - Mbah Tokia, begitu perempuan 71 tahun itu dipanggil, mengisahkan saat Kapel Santo Zakaria di Desa Mekar Sari, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan dirusak orang tak dikenal pada Kamis, 8 Maret 2018.
"Mbah yakin ini hanya perbuatan orang yang tak memahami agama. Agama itu jalan kedamaian menuju Tuhan," kata Tokia yang lahir di Salatiga, Jawa Tengah itu.
Ia masih ingat ketika tengah malam tiba-tiba saja mendengar bunyi berdentum-dentum dari arah Kapel Santo Zakaria yang jaraknya hanya 20 meter dari rumahnya. Mbah Tokia yang tinggal ditemani dua cucunya terkaget bangun mendengar suara keras itu.
Jam menunjukkan pukul 00.30. Suara benda dipukul keras tak berhenti. Mbah Tokia yang penasaran mengintip dari balik daun pintu rumahnya yang terbuat dari papan kayu.
Baca juga: Penyerangan di Gereja St Lidwina, Ancaman Serius di Tahun Politik
Ia pun kaget setelah melihat pemandangan di kejauhan tepat di Kapel Santo Zakaria, tempat ia biasa beribadah, dua orang tengah memukul dinding di sebelah pintu masuk kapel menggunakan palu godam. Adapun empat orang lainnya tampak memperhatikan saja dekat motor dan di teras.
“Motor mereka terparkir di depan kapel, jumlahnya empat. Badan mereka tidak terlalu besar, cuma satu orang yang keliatan berbadan besar,” kata Tokia dengan sorot mata menyempit dan kening berkerut mengenang peristiwa mencekam itu.
Kegaduhan malam itu, tak hanya membangunkan Tokia. Namun juga Satyo Prasetyo Wahyudi dan Budi Utomo. Keduanya anak kandung Tokia. Rumah mereka pun berdekatan di seberang Kapel. Dari Kapel hanya dipisahkan jalan yang lebarnya tak lebih dari enam meter.
Malam itu, Satyo sangat terusik dengan suara berdentam yang berulang-ulang itu. Daun pintu rumahnya yang terbuat dari papan itu ia buka sedikit. Ia mengintip.
Sial, salah satu dari enam orang yang mengacaukan malam tenang itu melihat Setyo. Duuuuaaarrr…. Daun pintu itu dilempar oleh salah satu pengacau dengan batu.
“Orang itu tidak menggunakan topeng, Ia tak mau melihat muka Setyo. Ia juga tak ngomong. Hanya menunjuk-nunjuk memberi isyarat supaya masuk, dan melemparkan batu,” kata Tokia.
Sontak Satyo panik, ia menutup pintu dan menyuruh isterinya Lina tidak ikut mengintip.
“Satyo keluar dari pintu belakang, ia ke rumah mbah. Mbah takut keluar, biarlah mbah menemani cucu yang ketakutan,” ujarnya. Adapun kedua anaknya mendengar cerita Tokia, namun tak ikut berbicara.
Kisah yang sama diutarakan Ketua Bagian Asset Kapel Santo Zakaria, stasi Rantau Alai Paroki Ratu Rosario Seberang Ulu, Keuskupan Agung Palembang, Romo Maksimus. Ia menceritakan kerusakan kapel ini mulai
dari bobolnya dinding di samping pintu masuk, pelaku juga mencoba membakar bangku-bangku dalam kapel bersama daun jendela.
Baca juga: Gereja St Lidwina Diserang, Bupati Sleman: Ini Motif Apa Lagi?
“Mereka mencoba membakarnya dengan membakar kursi plastik yang ada dalam kapel itu. Untung, setelah enam orang itu kabur, warga segera memadamkannya. Namun Patung Bunda Maria dan Patung Hati Kudus Yesus terbakar,” ujarnya.
Ia juga meminta kepada umat katolik jangan terpancing dengan perusakan rumah ibadah itu. “Semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Jangan terpancing dengan pancingan oknum yang ingin merusak kerukunan umat beragama itu,” pintanya.
Sebelumnya, Kapolda Sumatera Selatan Irjen Zulkarnain Adinegara mengatakan penyidik sudah menemukan motif pelaku perusakan Kapel Santo Zakaria tersebut. “Tindakan pelaku murni kriminal,” kata dia beberapa waktu lalu.
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin juga menegaskan pelaku akan dikejar. “Kita selama ini bangga dengan zero konflik di sumsel. Ini ada yang mau coba-coba merusak. Kapolda sudah menjelaskan, pelaku akan dikejar,” kata dia.