TEMPO.CO, Yogyakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) itu telah merampas wewenang hukum yang selama ini berjalan. Menurut dia, perampasan ranah hukum oleh DPR itu terjadi karena dalam UU MD3 tersebut juga mengatur soal pemanggilan paksa terhadap masyarakat dan membentuk 'pengadilan' sendiri di DPR yang dijalankan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
“Ketika orang yang menghina anggota DPR dapat diproses hukum oleh MKD, ini jelas suatu bentuk ketakutan DPR atas kritik, ketentuan ini amat berlebihan,” ujar Mahfud di Yogyakarta Senin 19 Februari 2018.
Baca: Mahfud MD: DPR Sedang Mengebalkan Diri Lewat UU MD3
Padahal, soal kasus penghinaan hingga pencemaran nama baik kepada pejabat publik selama ini sudah diatur melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun ketentuan ini justru dimasukkan lagi dalam UU MD3. “Sehingga UU MD3 ini jadi bentuk perampasan hukum dan melanggar wewenang lembaga penegak hukum,” ujar Mahfud.
Mahfud menyayangkan DPR karena tidak memahami perannya sebagai lembaga politik sampai bisa membuat aturan kewenangan yang menabrak ke mana-mana. “DPR itu lembaga politik, lembaga demokrasi, bukan lembaga hukum atau nomokrasi, enggak bisa dicampur-campur,” ujarnya.
Tak hanya salah dalam mengatur kewenangan MKD. Mahfud juga menilai DPR rancu ketika memasukkan pasal pemanggilan paksa terhadap pihak yang diperlukan DPR untuk memberi keterangan sehubungan dengan tugas legislatifnya.
Baca: UU MD3 Disahkan, Mahfud MD: DPR Kacaukan Garis Ketatanegaraan
Mahfud menuturkan, dalam bidang ketatanegaraan memang ada asas bernama sub-poena, yakni kewenangan parlemen untuk memanggil seseorang agar memberi kesaksian. “Tapi pemanggilan paksa ini hanya bisa berlaku jika urusannya karena ingin menghadirkan saksi fakta untuk mengungkap sebuah kasus yang dihadapi,” ujarnya.
Sayangnya, dia melanjutkan, dalam UU MD3 ini DPR menerapkan pasal pemanggilan paksa untuk semua urusan. Misalnya, ketika menyusun perundangan butuh saksi ahli pun bisa dipaksa oleh DPR agar hadir. “Masak, misalnya saya sebagai saksi ahli tak mau datang akan dipaksa datang sama aparat, wong saya merasa tak ada gunanya memberi keterangan di DPR, cuma dicatat tapi enggak didengerin,” ujarnya.