TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan DPR telah mengacaukan garis ketatanegaraan dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3).
"DPR sudah mengacaukan garis-garis ketatanegaraan. Soal problem etik dicampur dengan problem hukum," kata Mahfud di Kantor Staf Presiden, Jakarta pada Rabu, 14 Februari 2018.
Baca: Soal UU MD3, MKD: Pasal Imunitas Tak Berlaku untuk Pidana Khusus
Salah satu contohnya, kata Mahfud, adalah pemberian wewenang kepada Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memanggil paksa seseorang yang dinilai menghina DPR, baik secara lembaga maupun perseorangan. Menurut Mahfud, MKD tak perlu mendapat wewenang itu karena KUHP telah mengaturnya. "Menghina, mencemarkan pejabat publik atau lembaga publik itu sudah ada hukumnya," kata dia.
Mahfud mengatakan, DPR tak seharusnya ikut campur dalam penegakan hukum. Lembaga itu bukanlah polisi yang memiliki wewenang di bidang hukum. "Untuk menegakkan hukum itu ada lembaga monokrasi seperti pengadilan, polisi, jaksa, dan sebagainya," kata dia.
Baca: Soal UU MD3, Pengamat: Persekongkolan Jahat Pemerintah-DPR
DPR mengesahkan UU MD3 dua hari lalu. Pengesahan UU ini diwarnai aksi walk out dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan NasDem.
Simak: Grafis Jumlah Anggota Dewan yang Mangkir selama 2017
Beleid UU MD3 ini tetap disahkan meski mencantumkan beberapa isu yang kontroversial. Beberapa di antaranya adalah penambahan rumusan bab pemanggilan paksa yang melibatkan kepolisian, penggunaan hak angket, interpelasi, dan hak menyatakan pendapat. Aturan ini juga menghidupkan kembali badan akuntabilitas keuangan negara.