TEMPO.CO, Jakarta - Bersama dengan fraksi Partai Persatuan Pembangunan, fraksi Partai NasDem menyatakan keluar (walk out) dari agenda pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjadi undang-undang. Wakil Ketua Fraksi Johnny G. Plate mengatakan isi draf RUU MD3 sangat pragmatis.
"Substansi dalam draf yang disetujui terlalu banyak muatan pragmatisme dan hanya untuk kepentingan kelompok mengisi jabatan portofolio parlemen," kata Johnny di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 12 Februari 2018. Fraksi NasDem keluar setelah usulan penundaan pembahasan tak digubris.
Baca: RUU MD3 Disahkan, Dua Fraksi DPR Walk Out
Johnny juga berpendapat bahwa pengesahan RUU MD3 berpotensi membentuk oligarki kekuasaan di DPR dan membuka tata kelola yang tidak memadai. "Citra DPR lebih memburuk," ujarnya. Ia pun menyatakan fraksinya tak bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan dari pengesahan RUU MD3.
Politikus NasDem lain, Hamdani, menyatakan pembahasan RUU MD3 cenderung dipaksakan. Menurut dia, penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD belum tentu bisa meningkatkan kerja parlemen. "Pembahasan terkesan dipaksakan untuk mengakomodir kepentingan praktis," ujarnya.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas berharap pengesahan RUU MD3 menjadi undang-undang dapat memperkuat fungsi dan tugas MPR, DPR, dan DPD. Ia menyebutkan beberapa persoalan yang direvisi dalam RUU MD3 itu berupa penambahan kursi MPR, DPR, DPD, dan wakil pimpinan mahkamah kehormatan dewan.
Baca: Yasonna H Laoly: Yang Tak Setuju UU MD3 Silakan Bawa ke MK
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai pengesahan RUU MD3 dapat meningkatkan kerja legislatif dan eksekutif dengan prinsip check and balances. Penyusunan jumlah pimpinan MPR dan DPR, kata dia, juga akan mencerminkan keterwakilan pemenang pemilu. "Perlu penataan struktur organisasi agar mencerminkan asas proporsionalitas," kata dia.