TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri mengakui luput tak melibatkan kalangan peneliti, baik individu maupun organisasi kemasyarakatan, dalam menyusun Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian. Karena itu, kementerian memutuskan untuk menunda implementasi aturan baru tersebut.
"Ini memang kekurangan kami dalam pembuatan peraturan ini," kata Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo, kepada Tempo pada Selasa, 6 Februari 2018.
Baca: LSM Kritik Prosedur Baru Penerbitan Izin Penelitian
Soedarmo mengatakan rancangan beleid baru tersebut dibahas hanya beberapa bulan pada 2017 sebelum pengesahannya diteken Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 11 Januari 2018. Pembahasan hanya melibatkan kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Luar Negeri; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; Badan Intelijen Negara, serta Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI.
Peraturan tentang riset ini dikecam banyak kalangan lantaran mengekang kebebasan para peneliti. Sebab, aturan baru menyatakan penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP) harus melalui verifikasi oleh Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum jika riset berskala nasional; serta badan atau kantor kesatuan bangsa dan politik untuk penelitian di tingkat provinsi atau kabupaten dan kota.
Verifikasi dilakukan untuk mengkaji dampak negatif penelitian. Persoalannya, tak satu pun pasal dalam peraturan baru ini yang menjelaskan indikator dampak negatif yang dimaksud. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Nasional Merah Johansyah berpendapat serupa. Ia mengatakan dampak negatif yang disebutkan dalam aturan itu bisa diterjemahkan secara luas.
Baca: Tunda Aturan Soal Riset, Kemendagri Akan Minta Masukan Peneliti
Penelitian isu sensitif seperti pada isu lingkungan, pertanahan, hingga kesehatan, seperti penderita HIV/AIDS, dapat saja diartikan akan memberi dampak negatif karena meresahkan. "Tidak jelas ini dampak negatif terhadap masyarakat atau justru korporasi," kata Merah.
Soedarmo menyatakan akan mendengarkan kritik publik, terutama ihwal tak adanya ukuran yang jelas tentang frasa dampak negatif. "Mengenai hal itu, memang kurang detail," ujarnya.
Menurut dia, peraturan ini tidak baku dan masih dapat direvisi. Sebelum itu, kementerian juga dapat mengeluarkan surat edaran ke pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota agar ada keseragaman dalam mengartikan dampak negatif.