TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP Setya Novanto mengatakan dirinya baru mengetahui proyek tersebut bermasalah dari keterangan seorang saksi di persidangan. Hal tersebut ia ungkapkan saat menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Setya mengetahui Kementerian Dalam Negeri melakukan efisiensi anggaran proyek e-KTP. Anggaran yang tadinya sebesar Rp 6,6 triliun pada pembahasan di 2009, turun menjadi Rp 5,8 triliun. Setya mengklaim tak tahu-menahu ihwal teknis proyek itu.
Baca: Setya Novanto Tunjukkan Buku Catatan Tertulis Nama Nazaruddin
Mantan Ketua DPR ini pun baru mengetahui bahwa ada pelanggaran dalam pengadaan e-KTP setelah mendengar kesaksian Direktur Penanganan Permasalahan Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta pada Kamis, 1 Februari 2018. "Justru kita baru tahu, kaget juga," ujar Setya pada Senin, 5 Februari 2018.
Sementara itu, pengacara terdakwa Setya Novanto, Firman Wijaya, menyatakan sejauh ini tidak ada bukti signifikan yang menunjukkan keterlibatan kliennya dalam meloloskan anggaran proyek e-KTP. Sebab, hingga saat ini para saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK tak membuktikan seperti apa peran Setya.
"Fakta-faktanya beliau sampai saat ini tidak dalam posisi menentukan penganggaran atau penetapan, karena itu di wilayah Komisi II DPR dan Kementerian Dalam Negeri," kata Firman.
Baca: Setya Tulis Nama Ibas di Catatannya, Demokrat: Serangan Ngawur
Hingga saat ini, pemeriksaan saksi untuk Setya telah dilakukan sebanyak 8 kali. Sidang pemeriksaan saksi digelar sejak Kamis, 11 Januari 2018.
Pada Kamis pekan lalu, jaksa menghadirkan enam saksi. Tiga di antaranya adalah mantan Ketua Komisi Pemerintahan DPR Chairuman Harahap, advokat Hotma Sitompul, dan Direktur Penanganan Permasalahan Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta.
Budi menyatakan, proyek e-KTP sarat pelanggaran sedari awal. Namun, hasil rapat antara LKPP, Kementerian Dalam Negeri, dan Staf Wakil Presiden saat itu Sofyan Djalil memutuskan proyek e-KTP harus dilanjutkan.
Setya didakwa jaksa penuntut umum KPK berperan dalam meloloskan anggaran proyek e-KTP di DPR pada medio 2010-2011 saat dirinya masih menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar. Atas perannya, Setya Novanto disebut menerima total fee sebesar US$ 7,3 juta. Dia juga diduga menerima jam tangan merek Richard Mille seharga US$ 135 ribu. Setya Novanto didakwa melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 tentang Tindak Pidana Korupsi.