TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengungkapkan alasannya mendorong Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat untuk mundur dari jabatannya. "Yang ingin saya dorong adalah saya ingin Pak Arief melihat, kalau dia mundur merupakan tanggung jawab dia sebagai bagian dari MK yang berusaha menjaga marwah MK," kata Bivitri di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa, 30 Januari 2018.
Bivitri menilai, legitimasi MK saat ini semakin menurun sejak kasus hukum yang menjerat para hakimnya. Misalnya, dia menyebutkan, dua hakim MK, Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Lalu ditambah kasus pelanggaran etik yang sudah dua kali dilakukan Arief Hidayat. "Ini legitimasi yang jadi pertaruhan. Pak Arief perhitungkan, mundur bukan berarti kalah. Tapi menjaga marwah MK tetap baik," katanya.
Baca juga: Dewan Etik MK Berbeda Pendapat Soal Sanksi untuk Arief Hidayat
Menurut Bivitri, hakim MK sepatutnya diisi oleh orang-orang yang spesial karena keputusan yang dihasilkan oleh MK akan sangat berpengaruh terhadap dampak politik. Karenanya, standar etik yang diterapkan pun tinggi. Bahkan, Bivitri menambahkan, salah satu kualifikasi seorang hakim MK adalah memiliki sifat negarawan.
Etik itu sendiri, kata Bivitri, memiliki tingkatan lebih tinggi dari peraturan perundangan-undangan. Sehingga, dengan adanya pelanggaran etik yang dilakukan Arief Hidayat, Bivitri menyayangkan sanksi yang diputuskan oleh Dewan Etik MK sangat rendah. "Sanksi hanya teguran tertulis sangat tidak tepat," ujarnya.
Arief Hidayat diduga melakukan lobi politik kepada anggota DPR terkait dengan pencalonan kembali dirinya menjadi hakim MK. Dalam laporan majalah Tempo, Arief diduga melobi pemimpin Komisi Hukum hingga pemimpin fraksi agar mendukungnya sebagai calon tunggal hakim konstitusi. Belakangan, Arief kembali diangkat menjadi hakim konstitusi.
Baca juga: Dewan Etik MK Akan Periksa Pimpinan Komisi III DPR
Arief Hidayat bukan sekali ini saja melakukan pelanggaran etik. Pada 2015, Arief berurusan dengan Dewan Etik ketika terlibat dalam kasus katabelece jaksa. Dewan Etik, yang saat itu dipimpin Abdul Mukthie Fadjar, menjatuhkan sanksi teguran lisan kepada Arief.
Arief terbukti memberikan katabelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono. Katabelece itu terkait dengan permintaan Arief kepada Widyo untuk memberikan perlakuan khusus kepada kerabatnya, yang menjadi jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek.