TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Etik Mahkamah Konstitusi Achmad Rustandi mengatakan bahwa Dewan Etik sempat berbeda pendapat dalam menjatuhkan hukuman kepada Ketua MK Arief Hidayat. Dia mengaku secara pribadi menganggap bahwa Arief telah melakukan pelanggaran berat.
"Saya sendiri mengusulkan supaya dia di tetapkan putusan pelanggaran berat," kata Rustandi di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat pada Selasa, 16 Januari 2018.
Dewan Etik MK akhirnya memutuskan bahwa Arief melakukan pelanggaran ringan dan menjatuhi sanksi teguran lisan. Pelanggaran tersebut karena Arief menghadiri pertemuan dengan beberapa pimpinan Komisi Hukum DPR di Hotel Ayana MidPlaza tanpa adanya undangan resmi.
Baca: Dewan Etik Beri Sanksi Ringan kepada Ketua MK Arief Hidayat
Rustandi mengatakan pertimbangan untuk menjatuhkan pelanggaran berat memperhatikan beberapa pertimbangan. Pertama, Arief merupakan pimpinan tertinggi di Mahkamah Konstitusi. Kedua, Arief telah melakukan pelanggaran etik sebelumnya. "Tapi saya tidak sendiri dalam memutuskan, saya harus memperhatikan pendapat yang lain," kata dia.
Pada 2015, Arief telah berurusan dengan Dewan Etik ketika terlibat dalam kasus katabelece jaksa. Dewan Etik yang saat itu dipimpin Abdul Mukhtie Fadjar menjatuhkan sanksi teguran lisan kepada Arief.
Arief terbukti memberikan katabelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono. Katabelece itu terkait permintaan Arief kepada Widyo untuk memberikan perlakuan khusus kepada kerabatnya yang menjadi jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek.
Baca: Alasan Dewan Etik Beri Sanksi Ringan untuk Ketua MK Arief Hidayat
Walau sempat berbeda pendapat, Rustandi mengatakan bahwa keputusan tersebut telah menjadi kesepakatan dalam musyawarah. Dia juga mengatakan siap bertanggung jawab. Dia berharap Arief tak melakukan pelanggaran untuk ketiga kali. "Mudah-mudahan satu kali lagi tidak terjadi, makanya dia harus hati-hati," kata dia.
Anggota Dewan Etik MK Salahuddin Wahid mengatakan, jika Arief melakukan pelanggaran untuk ketiga kalinya, maka akan diadili di Mahkamah Kehormatan. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2014. "Kalau tiga kali dibentuk Mahkamah Kehormatan," kata dia.
Arief Hidayat diduga melakukan lobi kepada anggota DPR terkait pencalonan kembali dirinya menjadi hakim MK. Dalam laporan Majalah Tempo, Arief diduga melobi pemimpin Komisi Hukum hingga pemimpin fraksi agar mendukungnya sebagai calon tunggal hakim konstitusi. Belakangan, Arief kembali diangkat menjadi hakim konstitusi.