TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan beberapa pengusaha money changer dalam sidang lanjutan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik dengan terdakwa Setya Novanto. Jaksa penuntut umum KPK Irene Putri menghadirkan saksi-saksi itu untuk mengetahui jembatan yang digunakan dalam penyaluran aliran dana ke Setya Novanto.
"Yang kita buktikan adalah ada jual beli pembayaran, menerima transfer dari Biomorf Mauritius, ada lagi yang mentransfer ke pihak-pihak yang kita duga sebelumnya dalam kasus korupsi e-KTP," kata Irene di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin, 15 Januari 2018.
Salah satu saksi bernama Nenny diketahui menerima uang dari perusahaan milik Johannes Marliem, PT Biomorf Mauritius. Nenny mengatakan baru mengetahui adanya transfer ke nomor rekeningnya di Singapura setelah pemeriksaan oleh KPK.
Baca: Sidang Setya Novanto, Pengacara Soroti Saksi dari Jaksa KPK
Transfer yang diterima pada tahun 2012 itu bernilai US$ 300 dan US$ 500. "Saya tanya (penyidik KPK), Biomorf itu siapa sih, saya enggak tau," kata Nenny saat memberi kesaksian.
Setelah pemeriksaan tersebut, KPK meminta Nenny untuk memeriksa rekeningnya. Melalui bantuan OCBC Singapura, Nenny kemudian mendapatkan data transfer tersebut. Rekening Nenny tersebut, sebelumnya ia sebut telah di tutup sejak 2013. "Ternyata memang bener ada," kata dia. Nenny sendiri tak mengetahui asal muasal transfer tersebut.
Saksi lain yang juga pengusaha money changer, Moni mengaku pernah mengirimkan uang sebanyak US$ 1,4 juta ke salah satu perusahaan Made Oka Masagung di Singapura, OEM Invesment. Uang dikirim secara bertahap, yakni US$ 400 dan US$ 1 juta.
Moni mengatakan, seorang klien bernama Deni Wibowo, pengusaha money changer Raja Valuta ingin membeli dolar kepadanya. Dolar tersebut kemudian diminta untuk dikirim kepada OEM Investment. "Money changer (Raja Valuta) minta tolong, jadi saya kirim ke OEM Investment," kata dia.
Baca: KPK Akan Periksa Ajudan Setya Novanto untuk Fredrich Yunadi
Dalam persidangan, Moni tak mau membeberkan alasan kliennya meminta mengirimkan uang ke OEM Investment. Menurut dia, hal tersebut merupakan rahasia antara pengusaha dan kliennya. "Saya kasih harga, mereka kasih cash, lalu mereka kasih alamat ke kita," kata Moni.
Pada sidang pekan lalu, jaksa turut menghadirkan saksi dari kalangan money changer. Salah satunya, Rizwan yang mengaku hanya berurusan dengan keponakan Setya, Irvanto Pambudi Cahyo.
Rizwan menyebut, Irvanto pernah memakai jasa money changer-nya untuk melakukan barter dollar. "Dia (Irvanto) bilang ada dollar di luar negeri, cuma dia mau terima dollar di Jakarta, jadi barter," kata Rizwan pada Kamis, 12 Januari 2018.
Bersama Yuli, Rizwan memfasilitasi barter dolar dari Irvanto senilai US$ 2,6 juta. Dari setiap dollar yang dibarter, Rizwan mengambil keuntungan Rp 100. Keuntungan itu dibagi dengan Yuli dengan perbandingan 60:40 sebagai penyedia rekening.
Muda Ikhsan Harahap juga mengatakan pernah berurusan dengan Irvanto. Dia meminjamkan rekeningnya di Singapura untuk memfasilitasi transfer dari Made Oka Masagung.
Seperti yang tertulis dalam surat dakwaan Setya Novanto, guna mengaburkan aliran fee ke Setya Novanto, jaksa menyebut Johannes Marliem dan Anang Sugiana Sudihardjo mengirimkan uang kepada Setya Novanto, menggunakan beberapa nomor rekening perusahaan dan money changer, baik di dalam maupun di luar negeri.
Tercatat, total dana yang diterima Setya Novanto dari Made Oka Masagung berjumlah US$ 3,8 juta. Uang itu diterima melalui rekening OCBC Center Branch atas nama OEM Investment, Pte. Ltd sejumlah US$ 1,8 juta dan melalui rekening Delta Energy Pte. Ltd di Bank DBS Singapura sejumlah US$ 2 juta.
Uang juga diterima Setya Novanto melalui keponakannya, lrvanto Hendra Pambudi Cahyo pada tanggal 19 Januari 2012 hingga 19 Februari 2012 yang seluruhnya seluruhnya berjumlah US$ 500 ribu. Setya Novanto sendiri disebut menerima dana sebesar US$ 7,3 juta. Selain uang dia juga diduga menerima jam tangan merek Richard Mille seharga US$ 135 ribu.
Setya Novanto diduga berperan dalam meloloskan anggaran proyek e-KTP di DPR pada 2010 saat dirinya masih menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar. Setya Novanto didakwa melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 tentang Tindak Pidana Korupsi.