TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi menggelar sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dalam kasus suap terkait dengan proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) untuk terdakwa Setya Novanto. Dijumpai sebelum persidangan, pengacara Setya, Maqdir Ismail, memberikan tanggapan tentang saksi-saksi yang akan dihadirkan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kita tidak mau itu keterangan-keterangan soal penerimaan uang itu menjadi fitnah," kata Maqdir, di Pengadilan, Senin, 15 Januari 2018.
Maqdir menyoroti perbedaan keterangan yang disampaikan saksi dari jaksa minggu lalu. Saksi Rizwan mengatakan melakukan barter dolar dengan keponakan Setya, Irvanto Pambudi Cahyo, senilai US$ 2,6 juta. Di sisi lain, saksi Yuli Hira mengatakan uang tersebut bernilai US$ 2,5 juta.
"Kemarin itu ada yang tidak match antara keterangan para saksi mengenai berapa sih sesungguhnya uang yang diserahkan melalui Irfanto kalau memang uang itu ada," ucap Maqdir.
Pada sidang minggu lalu, jaksa menghadirkan empat orang saksi dari kalangan swasta. Mereka adalah Komisaris PT Berkah Langgeng Yuli Hira; karyawan PT Berkah Langgeng, Nunuy Kurniasih; Manager Inti Valuta Money Changer Rizwan; dan Muda Ikhsan Harahap.
Baca: KPK Surati Kapolri untuk Periksa Ajudan Setya Novanto
Keempatnya memang mengaku tak bersentuhan langsung ihwal aliran dana atas nama Setya Novanto. Salah satunya Rizwan. Dia mengaku hanya berurusan dengan keponakan Setya, Irvanto Pambudi Cahyo. Rizwan menyebut Irvanto pernah memakai jasa money changer-nya untuk melakukan barter dolar.
"Dia (Irvanto) bilang ada dolar di luar negeri, cuma dia mau terima dolar di Jakarta, jadi barter," kata Rizwan, Kamis, 12 Januari 2018.
Bersama Yuli, Rizwan memfasilitasi barter dolar dari Irvanto senilai US$ 2,6 juta. Dari setiap dolar yang dibarter, Rizwan mengambil keuntungan Rp 100. Keuntungan itu dibagi dengan Yuli dengan perbandingan 60:40 sebagai penyedia rekening.
Baca: Detik-detik Penangkapan Fredrich Yunadi, Pengacara Setya Novanto
Muda Ikhsan Harahap juga mengatakan pernah berurusan dengan Irvanto. Dia meminjamkan rekeningnya di Singapura untuk memfasilitasi transfer dari Made Oka Masagung.
Nama Made Oka Masagung sebelumnya disebut-sebut berperan sebagai perantara penerima fee Setya Novanto dari proyek e-KTP bernilai Rp 5.84 triliun tersebut.
Setya Novanto diduga berperan dalam meloloskan anggaran proyek e-KTP di DPR pada 2010 saat masih menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar.
Dalam surat dakwaan, Setya Novanto diduga menerima fee senilai US$ 7,3 juta dan sebuah jam tangan merek Richard Mille senilai Rp 1,26 miliar. Setya Novanto didakwa melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 tentang Tindak Pidana Korupsi.
M. YUSUF MANURUNG