TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah menetapkan lima nama hakim yang akan memimpin persidangan dalam kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP dengan tersangka Setya Novanto. Sidang perdana Setya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dijadwalkan pada Rabu, 13 Desember 2017.
Adapun lima hakim tersebut adalah Yanto (hakim ketua), Frangki Tambuwun, Emilia Djajasubagia, Anwar, dan Ansyori Syarifudin. Sedangkan panitera pengganti adalah Roma Siallagan. "Penetapan majelis hakim merupakan hak prerogatif ketua pengadilan," kata pegawai Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Tipikor Jakarta, Ibnu Basuki Widodo, di kantornya, Kamis, 7 Desember 2017.
Baca: Ahli: Praperadilan Gugur Saat Sidang E-KTP Setya Novanto Dimulai
Pengadilan Tipikor Jakarta menunjuk Yanto sebagai ketua majelis hakim menggantikan Jhon Halasan Butar Butar yang dimutasi sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Pontianak. Yanto sehari-hari bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Pria berusia 57 tahun itu merupakan lulusan doktor dari Universitas Jayabaya.
Sebelum menjabat sebagai Ketua PN Jakarta Pusat, Yanto tercatat pernah menjabat sebagai hakim tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2014. Kemudian menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sleman pada 2015. Sejak 22 April 2016, Yanto dipindah ke salah satu Pengadilan Negeri di Provinsi Bali dan menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Denpasar. Kemudian, Hakim Yanto dipindah ke PN Jakarta Pusat dan menjabat sebagai Ketua PN Jakarta Pusat sejak 16 Juni 2017.
Dari lima hakim yang akan menjadi pengadil Setya Novanto, hanya Yanto yang baru menangani kasus e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun. Sementara empat hakim yang lain sudah menjadi anggota majelis hakim dalam kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto, dan pengusaha Andi Narogong.
Baca: Komisi Yudisial Perketat Pengawasan Sidang Setya Novanto
Frangki Tambuwun pernah menjadi ketua majelis hakim saat memutus perkara mantan Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Pajak Handang Soekarno pada Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 Juli 2017. Saat itu, Frangki memvonis Handang Soekarno dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap dari Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia, R Rajamohanan Nair sebesar 148.500 dollar AS atau senilai Rp 1,9 miliar. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menuntut agar Handang dipidana penjara selama 15 tahun.
Hakim Anwar pernah menjadi anggota majelis hakim dalam sidang kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong. Sementara itu, dua hakim lainnya, Emilia Djajasubagia, dan Ansyori Syarifudin juga pernah menjadi anggota majelis hakim saat memutus perkara e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri. Meski memutus terdakwa bersalah, dengan vonis masing-masing 7 tahun dan 5 tahun penjara, majelis yang dipimpin hakim Jhon Halasan Butar Butar itu menghilangkan sejumlah nama yang disebut dalam tuntutan jaksa sebagai pihak penerima suap. Putusan juga tak menyebut nama Setya secara spesifik.
Komisi Yudisial sempat menyatakan bakal memeriksa para hakim karena lenyapnya sejumlah nama dalam putusan tersebut. Namun, menurut Farid, sejauh ini lembaganya belum menerima laporan dugaan pelanggaran perilaku hakim terhadap Yanto dan empat anggotanya.
Komisi Yudisial memastikan akan menurunkan tim untuk memantau persidangan Setya Novanto dalam perkara dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP. “Kami mengimbau agar pengadilan menjalankan tugas sebaik-baiknya, tak terpengaruh intervensi dari mana pun,” kata juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, Ahad, 10 Desember 2017.
Farid menjelaskan pemantauan sidang Setya Novanto akan dilakukan secara terbuka, yakni dengan mencermati kepatuhan pengadil terhadap ketentuan hukum acara persidangan. Pemantauan secara tertutup pun akan digelar untuk mengawasi perilaku hakim di luar persidangan. “Kami mengajak publik tetap fokus pada upaya hukum dan menghormati prosesnya,” kata dia.