TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Supiadin Aries Saputra mengatakan pemerintah dan DPR bersepakat untuk menghilangkan pasal Guantanamo atau pasal 43 dalam RUU Terorisme. Ia menjelaskan hilangnya pasal ini adalah permintaan dari pemerintah.
“Bab pencegahan sebetulnya awalnya enggak ada. Itu pasal 43A yang tadinya pasal Guantanamo, tapi pasal itu fix hilang kita ganti menjadi bab pencegahan di Bab VIIA,” kata Supiadin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 4 Oktober 2017.
Baca : Pansus Targetkan RUU Terorime Rampung Desember 2017
Menurut dia, pihak pemerintah memandang pasal ini bisa menjadi masalah. "Maka aripada ini jadi masalah, sekalian saja di-drop," ujarnya. DPR pun bersepakat.
Supiadin menjelaskan tak ada dasar hukum yang mengatur penahanan orang yang diduga sejak awal terindikasi bergiat dalam aksi terorisme. Aspek Hak Asasi Manusia pun menjadi dasar. “Bagaimana orang tidak jelas bisa ditangkap, ditahan, dipenjarakan untuk waktu 60 hari, dasar hukumnya apa,” kata dia.
Baca : RUU Terorisme, Syarat Penyadapan Tanpa Izin Pengadilan Diatur
Padahal, menurut Supiadin, penangkapan dan penetapan tersangka harus didahului dengan temuan dua alat bukti permulaan yang cukup. “Kalau di pasal 43 dulu itu, tiba-tiba orang bisa ditangkap dan ditahan. Itu pelanggaran KUHAP ,” kata politikus Partai Nasional Demokrat itu. Beleid itu kini menjadi bab yang mengatur aspek pencegahan yang meliputi kesiapsiagaan, deradikalisasi, dan kontraradikalisasi.
Pasal 43 atau dikenal dengan pasal Guantanamo menjadi polemik dalam pembahasan RUU Terorisme di DPR bersama pemerintah. Pasal ini mengatur kewenangan penyidik ataupun penuntut untuk menahan terduga teroris selama 6 bulan. Pasal ini dinilai sejumlah pihak memiliki banyak celah untuk penyalahgunaan wewenang. Pembahasan pasal ini pun berjalan alot.
Pasal Guantanamo dalam RUU Terorime sebelumnya juga dikritik beberapa kelompok masyarakat sipil seperti Muhammadiyah. Wakil Ketua Majelis Hukum Muhammadiyah Trisno Raharjo menyatakan pasal ini berpotensi menuduh seseorang sebagai teroris. Direktur Imparsial, Al Araf, juga mendesak pasal 43A dihapus.