Pengacara dari Sholeh and Partners, Muhammad Sholeh, mendaftarkan uji materi terkait investasi dana haji di Undang-Undang nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 9 Agustus 2017. TEMPO/Ahmad Faiz
TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai kinerjanya belum mencapai titik optimal.
“Soal perubahan fundamental MK belum terjawab,” kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani di kantornya, Ahad, 20 Agustus 2017.
Selain itu, untuk melindungi dari bias dinamika sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang terjadi di luar persidangan. Menurut Ismail, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden perlu membentuk suatu perangkat dan mekanisme untuk memastikan penerapan putusan MK secara konsisten.
“Tanpa perangkat dan mekanisme, kecenderungan ketidakpatuhan pada putusan MK akan terus meningkat dan merusak praktik ketatanegaraan Indonesia,” kata dia.
Setara Institute juga menyarankan agar MK mengurangi praktik ultra petita (penyimpangan) dan ultra vires (norma baru yang seharusnya dirumuskan Presiden). Ismail mencontohkan temuannya, yaitu terdapat 1 putusan ultra petita, 15 norma baru yang diputus secara ultra vires, dan 3 isu konstitusional yang menggambarkan inkonsistensi MK.
Ismail melanjutkan, MK pun bisa meningkatkan mekanisme penghentian perkara yang tidak memiliki kualifikasi konstitusional. Cara itu, kata dia, bisa menghemat waktu dan anggaran persidangan.
Selain itu, Ismail berujar, pihaknya menilai MK bersama DPR dan Presiden bisa menyusun hukum acara khusus mengatur manajemen waktu sidang. Sehingga mampu menghindari pengabaian dalam sidang perkara tertentu.
Rekomendasi terakhir Setara Institute adalah mereka mendorong DPR dan Presiden menginisiasi revisi Undang-Undang MK. Poin dalam revisi, yaitu mengatur pembatasan kewenangan absolut MK, perbaikan desain check and balances, dibentuknya pengawas eksternal, serta mekanisme rekrutmen hakim yang lebih akuntabel.