Pidato Presiden Sukarno di hadapan para pendukung PKI yang menunjukkan bagaimana komunisme juga menjadi kekuatan yang membawa Indonesia menuju identitas Negara yang kuat, dengan semangat nasionalis, agama dan komunis. wikipedia. org
TEMPO.CO, Boyolali - Dorongan untuk membangun rekonsiliasi Tragedi 1965 terus menguat sejak tahun 2002 lalu. Kondisi itu membuat Lembaga Kajian Transformasi Sosial (LKTS) Boyolali Jawa Tengah melakukan penelitian untuk menggali fakta yang terjadi di masa menjelang lengsernya pemerintahan Orde Lama itu.
Selama ini, daerah yang berada di utara Kota Solo itu dikenal sebagai salah satu basis gerakan komunis. Cerita tentang kekejaman yang terjadi di lereng Merapi itu terus berkembang dari mulut ke mulut. Tidak jarang, ada bumbu-bumbu yang ditambahkan sesuai kepentingan.
"Kami mencoba membuat penelitian dengan mewawancarai sejumlah saksi sejarah," kata Direktur LKTS Boyolali, Ismail Al Habib. Mereka mencoba menggali dan merekonstruksi cerita yang sesungguhnya mengenai apa yang terjadi pada saat itu. "Sayang, sebagian besar saksi sejarah itu kini sudah meninggal," katanya kepada Tempo, Jumat 25 September 2015 lalu.
Ismail menyebutkan bahwa hasil penelitian itu atas tiga periode waktu yang berbeda. Mereka menggali cerita mengenai kondisi Boyolali sebelum dan sesudah 1 Oktober 1965, serta suasana setelah operasi pembersihan yang dilakukan oleh tentara.
Sebelum meletusnya peristiwa kemanusiaan tersebut, Boyolali dikenal sebagai basis Partai Komunis Indonesia. Mereka mampu menguasai kursi mayoritas di legislatif yang ada di kabupaten itu, dengan perolehan 21 kursi dari 35 kursi yang tersedia pada pemilihan umum 1955.
Meski demikian, kondisi sosial politik di kabupaten penghasil susu itu tetap aman. Pendukung dari beberapa partai besar hidup berdampingan. Jika pun ada letupan kecil, biasanya hanya terjadi dalam pemilihan pamong desa. "Konflik personal yang kadang membawa nama partai politik," kata Ismail. Kebanyakan, jabatan tersebut menjadi persaingan sengit antara PKI dengan PNI.
Kasus kekerasan hanya terjadi di sekitaran lereng Merapi dan Merbabu, yang kemudian mendapat julukan Merapi Merbabu Compleks (MMC). Kelompok MMC sering melakukan kejahatan seperti perampokan hingga pembunuhan terhadap warga yang tinggal di sekitar dua gunung itu.
Dalam penelitian yang dilakukan, Ismail menyebut bahwa anggota MMC merupakan orang – orang yang sakit hati dengan rasionalisasi yang terjadi di tubuh tentara. Dalam rasionalisasi tersebut, hanya tentara yang sudah dilatih oleh KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, dan PETA (Pembela Tanah Air) yang bisa masuk menjadi tentara negara.
Sedangkan Tentara Rakyat yang lahir karena menjadi relawan tidak bisa menjadi tentara negara yang digaji oleh negara. "Mereka yang kecewa lantas mengasingkan diri ke lereng Merbabu dan Merapi," katanya.