TEMPO.CO, Jakarta - Buku "Pergunakanlah Hati, Tangan dan Pikiranku: Pledoi Omar Dani" adalah satu dari sekitar seratus buku tentang G30S 1965. Jelas buku ini penting karena ditulis oleh salah satu pelaku utama. Setelah dibungkam selama 29 tahun, bekas pucuk pimpinan Angkatan Udara itu mau bicara.
Baca juga:
G30 S 1965: Benarkah Amerika Bikin Daftar Orang-orang yang Dibunuh?
Dua hari setelah merayakan ulang tahun yang ke-77, bapak lima anak ini menerima tim redaksi Tempo pada tahun 2001 silam. Wawancara berlangsung di rumahnya, di kawasan Kebayoran Baru yang asri, ia didampingi oleh A. Andoko, bekas deputi Men/Pangau bidang logistik. Dalam wawancara itu, dia menyebutkan ada rekayasa dalam G30S 1965. "Menurut saya CIA itu sangat terlibat, dan Harto adalah tangan yang dipakai. G30S 1965 itu bikinan Harto," ujarnya. Berikut petikannya wawancara lengkapnya:
Bisa Anda ceritakan situasi pada tanggal 30 September 1965?
Tanggal 30 September 1965, sore jam 16.00, laporan pertama masuk dari Letkol Udara Heru Atmodjo, Asisten Direktur Intel AURI, bahwa ada gerakan di lingkungan AD yang akan menjemput jendral AD untuk dihadapkan kepada Bung Karno. Itu reaksi dari para perwira muda AD yang tidak puas terhadap keadaan AD. Lalu saya minta dia untuk mengecek kebenarannya. Kemudian jam 20.00 malam dia datang lagi.
Apa yang disampaikan Heru Atmodjo?
Saya tanya jam berapa operasi akan dilakukan. Heru menjawab (operasi bisa terjadi) jam 23.00 (30 September), bisa 01.00 atau jam 04.00 (1 Oktober 1965). Kami heran, sudah kurang 24 jam kok (operasi) itu belum dipastikan jamnya. Kemudian ada yang menanyakan daftar yang akan diculik. Disebutkan, A. Yani, Nasution, DI Panjaitan dan seterusnya. Saya pribadi berpendapat, kalau orang hendak melakukan pemberontakan, pantasnya targetnya adalah jenderal yang memegang komando, misalnya, Yani (Menpangad), Soeharto (Pangkostrad), Sarwo Edie (Komandan RPKAD), Umar Wirahadikusumah (Pangdam Jaya). Lha Nasution kan nggak pegang komando. Saya pribadi tambah merasa aneh karena Nasution dan A. Yani dalam satu paket sasaran, padahal keduanya bertentangan terus.
Lalu keesokan paginya, Mayor Soejono datang melaporkan pembunuhan terhadap para jenderal, tapi Anda masih beristirahat. Bagaimana detilnya?
Soejono itu komandan resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan. Bahwa dia itu punya hubungan dengan PKI dan Latief, saya tidak tahu sama sekali. Baru dalam sidang Mahmilub soal tersebut ditanyakan. Saya jawab, saya nggak kenal Latief. Sebagai Menpangau, yang saya kenal ya paling-paling Umar Wirahadikusumah. Wakilnya Umar saja saya tidak tahu.
Baca juga:
G30S, Soekarno Bersembunyi di Halim dan Bogor
Kisah Salim Kancil Disetrum, Tak Juga Tewas: Inilah 3 Keanehan
Apa pertimbangan di balik keluarnya perintah harian Menpang/KSAU pada tanggal 1 Oktober 1965?
(Andoko menjawab pertanyaan ini: Ada tiga macam pengumuman waktu itu. Pertama surat perintah harian tadi, lalu kedua pada tanggal 2 Oktober 1965 jam 14.00, saya yang buat. Pada saat itu Menpangau berada di Lanud Iswahyudi, Madiun. Beliau juga membuat konsep kelanjutan dari pengumuman pertama. Kalau dibaca keduanya sama isinya: menolak adanya Dewan Revolusi. Omar Dani dari Madiun langsung kembali ke Bogor, ketemu Bung Karno, dan menunjukkan pengumuman itu. Tanggal 3 pagi dinihari baru diumumkan).
Saya membuat statement, isinya mendukung gerakan yang antirevolusioner, atas saran Heru Atmodjo. Katanya agar rakyat tahu. Kebodohan saya mungkin, karena saya kurang ngerti politik. Tahu-tahu paginya, sekitar jam 07.00 pada 1 Oktober 1965, ada siaran dari RRI tentang gerakan yang menamakan diri G-30 S. Dan tiba-tiba Presiden Soekarno mau pulang ke istana pun tak bisa. Yang menjaganya pasukan yang ditakuti, pasukan yang tak diketahui.