Dari 478 putusan MK, hanya 6,4 persen kasus yang dimohonkan oleh publik, sedangkan 42.8 persen , diajukan oleh kelompok elit yang melek hukum.
"48,5 persen merupakan permohonan dari kalangan partai politik seperti sengketa Pemilihan Umum," kata Peneliti HuMa Asep Yunan Firdaus dalam Diskusi Publik bertajuk "Stagnasi Hukum di Indonesia" di Jakarta, hari ini (5/8). "Ini menunjukkan MK belum menjadi alat yang digunakan kelompok marjinal untuk mencari keadilan."
Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada Fajrul Falaakh, sepakat dengan Asep. Namun menurut Fajrul, fakta itu sebenarnya bisa berubah. Tergantung pada kesadaran masyarakat pada hukum. "Kalau tidak sadar hukum, maka pengadilan hanya dituju saat kondisinya kepepet," katanya. Pengadilan di sini tidak menjadi kebutuhan. Tapi memang, kasus-kasus yang ditangani MK kasus besar yang kontroversial."
Isma Savitri