Autopsi Brigadir J Diulang? Begini Penjelasan Hukumnya di Indonesia
Reporter
Fathur Rachman
Editor
Dwi Arjanto
Kamis, 21 Juli 2022 15:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo diminta setujui permohonan Keluarga Brigadir J alias Nopryansah Yosua Hutabarat yang meminta ekshumasi dan autopsi ulang. Namun, autopsi ulang ini diminta dilakukan bukan oleh kedokteran forensik Polri.
Kuasa hukum keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak meminta Kapolri membentuk tim khusus yang melibatkan kedokteran dari RSPAD, RS AL, RS AU, RSCM, dan rumah sakit swasta. Menurutnya, permohonan ini disampaikan lantaran pihak keluarga meragukan hasil autopsi Brigadir J awal yang dilakukan oleh kedokteran forensik Polri.
Respons yang diberikan oleh kepolisian sendiri mempersilakan keluarga Brigadir J mengajukan permohonan autopsi ulang dan ekshumasi. Mereka mengklaim hal ini sebagai bentuk transparansi.
"Apabila ingin mengajukan ekshumasi, dari penyidik terbuka. Ini sesuai komitmen Bapak Kapolri bahwa proses penyidikan ini akan dilakukan seterbuka mungkin, setransparan mungkin, dan proses penyidikan harus memenuhi kaidah-kaidah scientific crime investigastion," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo kepada wartawan, Selasa (19/7/2022).
Hal tersebut dilakukan demi menghindari Pasal 222 KUHP yang akan memberikan sanksi hukum bagi setiap orang yang mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pemeriksaan mayat yang diduga akibat dari kejahatan.
Diperjelas juga dalam Pasal 135 KUHAP yang menentukan bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 (2) dan pasal 134 (1) undang-undang. Sementara tafsiran “penggalian mayat” dalam Pasal 135 adalah pengambilan mayat dari semua jenis tempat dan cara penguburan.
Agenda penggalian mayat atau ekshumasi juga perlu mendapat persetujuan dari pihak korban terlebih dahulu. Penyidik pun perlu memberitahu mengenai rencana penggalian tersebut. Namun jika salah satu keluarga ada yang keberatan, maka perlu ada keterangan yang sejelas-jelasanya berkenaan dengan ekshumasi mayat sehingga keberatan keluarga bisa hilang dan yang berkepentingan menjadi insyaf.
Berdasarkan Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan yang terbit pada 2019. Ekshumasi dan autopsi ini dilakukan dengan tujuan mengungkap penyebab dari kematian korban. Dalam catatan kematian tersebut memiliki dampak yang tidak wajar.
Maka dari itu, pihak penegak atau keluarga butuh bantuan dari ilmu autopsi. Hal tersebut akan diserahkan kepada dokter forensik untuk meneliti beberapa bagian tubuh korban yang masih tersisa. Hasil pemeriksaan autopsi forensik akan tertuang dalam sebuah laporan tertulis dalam bentuk visum et repertum dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Permintaan autopsi tersebut ada juga yang di dasarkan kepada kewenangan pasien atau keluarga pasien untuk menerima dan menolak tindakkan kedokteran (informed consent). Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Di akhir, perlu adanya hasil pemeriksaan autopsi forensik yang dituangkan dalam laporan tertulis berbentuk visum et repertum. Nantinya dokumen itu akan berguna sebagai pembuktian dan pemutusan di ranah pengadilan. Dalam aspek pro yustisia pun disebutkan bahwa alat bukti keterangan ahli dapat menambah keyakinan majlis hakim untuk membuat suatu keputusan.
Demikian ihwal autopsi dalam kaidah dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Menjadi perhatian publik sehubungan dengan permintaan keluarga Brigadir J agar dilakukan autopsi ulang.
FATHUR RACHMAN
Baca juga : Komnas HAM Kantongi Kronologi Penembakan Brigadir Yoshua