Keluarga Orang Hilang Pesimis Jokowi Bentuk Pengadilan HAM Adhoc
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Kukuh S. Wibowo
Rabu, 13 Maret 2019 21:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta- Salah seorang keluarga korban orang hilang, Utomo Rahardjo, mengaku pesimis Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal membentuk pengadilan HAM adhoc seumpama terpilih kembali di pemilihan presiden 2019. Ayahanda Petrus Bimo Anugerah, korban penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998, ini menyadari di lingkaran Jokowi banyak orang yang diduga terkait dengan pelanggaran HAM itu.
"Harapan kami seperti itu (pengadilan adhoc) jauh, jauh, jauh. Karena di lingkaran Pak Jokowi sendiri mereka-mereka adalah pelaku pada saat itu," kata Utomo di Hotel Grand Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 13 Maret 2019.
Baca: Sejumlah Keluarga Korban Penculikan Nyatakan Tak Dukung Prabowo
Utomo meyakini Jokowi mendengar dan memahami keinginan para keluarga korban. Namun, kata dia, banyak orang di lingkaran Jokowi yang tak sepaham soal penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Jokowi selama ini dikritik lantaran mengangkat Jenderal (Purnawirawan) Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Sebab, mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia itu diduga terlibat dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM berat, di antaranya penculikan aktivis 1997/1998 dan peristiwa Timor Timur 1999.
Tak cuma itu, pemerintahan Jokowi juga disorot lantaran didukung oleh sejumlah purnawirawan yang diduga terlibat pelanggaran HAM masa lalu. Ada nama Sutiyoso, Abdullah Makhmud Hendropriyono, hingga Muchdi Purwoprandjono. Ketiganya diduga terlibat dalam peristiwa 27 Juli 1996 dan pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib.
Menurut Utomo keberadaan para mantan petinggi militer itu di sekitar Jokowi membuat penuntasan kasus pelanggaran HAM lewat jalur yudisial kian sulit. "Sangat pesimis, itu enggak akan terwujud. Palang pintunya bukan main kuatnya di sekitar kekuasaan Pak Jokowi," kata dia.
Kendati begitu, Utomo berharap Jokowi tetap melaksanakan rekomendasi lainya yang pernah dikeluarkan Dewan Perwakilan Rakyat terkait penuntasan kasus tersebut. Pada 2009 sidang paripurna DPR menyetujui empat rekomendasi yang dihasilkan Panitia Khusus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 1997/1998.
Empat rekomendasi itu ialah pembentukan pengadilan HAM adhoc, melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban, dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Keluarga korban menilai tiga poin rekomendasi, kecuali pengadilan HAM adhoc, memungkinkan untuk dijalankan pemerintah.
"Enggak banyak yang kami tuntut dan minta, dukungan konkret sajalah," kata Utomo. "Selagi kami masih mempunyai napas, karena dari keluarga korban sudah banyak punah (meninggal), tinggal empat keluarga, nunggu apa lagi."
Paian Siahaan, ayahanda Ucok Munandar Siahaan, mengatakan dia realistis pembentukan pengadilan HAM adhoc sulit dilakukan. Maka dari itu, dia ingin agar pemerintah segera melakukan pencarian terhadap para korban hilang. "Kalau saya berpikir satu per satu, ini dulu satu item," kata Paian.
Simak: Kata BPN Soal Keluarga Korban Orang Hilang Ajak Tak Pilih Prabowo
Paian menuturkan dalam pertemuan dengan peserta Aksi Kamisan pada 31 Mei 2018, Presiden Jokowi berjanji menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, yakni kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997/1998 dan kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Meski begitu, kata Paian, Jokowi tak merinci bagaimana kasus-kasus itu akan dituntaskan.
Jokowi, ujarnya, mempersilakan perkembangan penuntasan kasus itu ditanyakan kepada Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko. "Dia (Jokowi) bilang, untuk mengetahui bagaimana progresnya, tanya Pak Moeldoko," ucapnya.