Terdakwa Kasus Korupsi Pengadaan KTP elektronik Setya Novanto mendengarkan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 29 Maret 2018. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Hifdzil Alim, menilai jaksa KPK seharusnya menuntut Setya Novanto dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
"Karena sikap dia yang pada awalnya mempersulit penyidikan kasus ini, ya," katanya, Jumat, 30 Maret 2018, soal faktor utama lamanya tuntutan hukuman penjara terhadap bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu.
Pada sidang pembacaan tuntutan, Kamis, 29 Maret 2018, jaksa KPK menganggap Setya telah melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Namun jaksa menuntut Setya Novanto pidana pokok 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Setya juga dituntut membayar uang pengganti sesuai dengan uang yang diduga ia terima sebesar US$ 7,435 juta dikurangi Rp 5 miliar yang sudah dikembalikan. Selain itu, jaksa menuntut pencabutan hak politik Setya selama lima tahun setelah menjalani hukuman.
Jaksa menuding Setya berperan meloloskan anggaran proyek e-KTP di DPR pada medio 2010-2011. Atas perannya, Setya Novanto disebut menerima total fee US$ 7,3 juta. Dia juga diduga menerima jam tangan bermerek Richard Mille seharga US$ 135 ribu.
Meski begitu, Hifdzil menilai tuntutan jaksa terhadap Setya Novanto itu tidak terlalu buruk. Sebab, tuntutan sudah melampaui tiga perempat hukuman maksimal. "Kami tetap mengapresiasi tuntutan KPK tersebut," tuturnya. (*)
LIHAT juga video webseries ini: Anak Muda Ini Berjualan Indomie, Tapi Karyawannya 3.500 Orang