Diorama adegan saat anggota PKI menyiksa dan menawan Mayjen S Parman, Mayjen Suprapto, Brigjen Sutoyo dan Lettu Pierre Tendean di dalam Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur. Menjelang peringatan G30S, monumen ini akan ramai dikunjungi warga. TEMPO/Subekti.
TEMPO.CO, Jakarta - Dokumen milik Kedutaan Besar Amerika Serikat mengenai Sejarah 1965 yang diungkap kepada publik di antaranya adalah memorandum 21 Oktober 1965. Dokumen itu mencatat percakapan antara Sekretaris Kedua Kedutaan Besar Robert Rich dan asisten jaksa agung Adnan Buyung Nasution yang dikenal sebagai pendiri organisasi hak asasi manusia pertama di Indonesia.
Buyung yang ketika itu berusia 31 tahun mengatakan PNI dan Masyumi sebagai organisasi islam, dan Angkatan Darat harus mendukung gerakan pembunuhan massal terhadap PKI. Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu juga mengatakan bahwa tentara telah mengeksekusi banyak komunis tapi keadaan ini harus ditutup rapat. "Tindakan represi tentara terhadap PKI disembunyikan dari Sukarno."
Dokumen rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia periode 1964-1968 mengungkap sejumlah fakta tragedi pembantaian ratusan ribu anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dokumen itu menyebutkan bahwa Angkatan Darat terlibat dalam rencana penggulingan Presiden Sukarno setelah Gerakan 30 September 1965.
Upaya gerakan pembunuhan massal tidak hanya disarankan Buyung untuk PNI dan Masyumi. Telegram bertanggal 18 November 1965 mencatat tentang upaya Angkatan Darat mengikusertakan partai-partai muslim, partai kristen, dan sayap kanan PNI di Jakarta untuk menghancurkan Gerakan 30 September.
Telegram 26 November 1965 juga berisi laporan terperinci mengenai kampanye anti-PKI yang dipimpin oleh Angkatan Darat itu.
Angkatan Darat juga mempersenjatai anggota Hansip di kampung-kampung untuk mengawasi pergerakan pendukung PKI dan memperluas rantai komando hingga pelosok desa. Mereka melibatkan organisasi keagamaan dalam pembantaian massal pada 1965-1966.
Kampanye Angkatan Darat itu rupanya berhasil. Karena dokumen pada 21 November 1965 mencatat pembantaian terbesar terjadi di Tulungagung, Jawa Timur. Sebanyak 1500 orang terbunuh pada kejadian itu.
Tenaga Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden, Theo Litaay, mengatakan pihaknya akan mendalami dokumen rahasia Amerika Serikat yang memuat informasi soal sejarah1965. Ia memastikan keberadaan dokumen itu tidak akan berpengaruh dalam proses penyelesaian kasus 1965.“Saya kira penyikapan atas informasi sejarah itu akan berlangsung seiring dengan waktu. Ini informasi awal yang kita terima, tentu akan kita dalami dan kita kaji lagi,” kata Theo di kantor Amnesty International Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 19 Oktober 2017.