Suasana rapat dengar pendapat umum dengan Pansus Hak Angket KPK bersama Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra dan Zain Badjeber di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, 10 Juli 2017. Dua pakar tersebut dimintai pandangan terkait keberadaan angket dalam hukum tata negara, posisi angket dalam fungsi pengawasan terhadap KPK dan kelembagaan KPK dalam sistem ketatanegaraan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi melayangkan panggilan kedua untuk KPK hari ini, Selasa, 17 Oktober 2017. Wakil Ketua Pansus Angket KPK Eddy Wijaya Kusuma berharap komisi antirasuah itu mau datang.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berujar, bila KPK mangkir lagi, Pansus akan melayangkan surat panggilan ketiga. "Setelah ketiga tidak hadir juga, kami akan minta bantuan Polri (Kepolisian RI) untuk panggil paksa," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 17 Oktober 2017.
Eddy meyakini Polri mau memenuhi permintaan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memanggil paksa KPK meski Kapolri sempat mempertanyakan hukum acaranya. Menurut dia, Komisi Hukum DPR telah menjelaskan bahwa pemanggilan paksa, yang diatur dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak memerlukan hukum acara.
"Yang punya hukum acara itu cuma hukum perdata dan pidana, sedangkan yang bersifat administrasi sudah terkandung dalam undang-undang itu," ucapnya.
Eddy berharap KPK tidak alergi terhadap Pansus Angket dan mau datang menghadiri undangan rapat. Ia mengklaim keberadaan Pansus bukan untuk melemahkan, melainkan demi memperbaiki dan memperkuat KPK agar pemberantasan korupsi efektif.
"Jangan ditakuti Pansus ini. Mari kita bersama-sama memperbaiki kinerja KPK," tuturnya.
Sebelumnya, pimpinan KPK berkali-kali mengatakan tidak akan menghadiri rapat bersama Pansus Angket. KPK menunggu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan. Sikap KPK adalah menunggu putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan uji materi pasal tentang hak angket dalam Undang-Undang MD3.
Pakar hukum UGM Zainal Arifin Mochtar menilai putusan MK yang akhirnya memenangkan pasangan nomor urut 02 Prabowo-Gibran telah menyisakan pekerjaan rumah cukup berat.