TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte menyebut hak angket jadi opsi yang kurang menguntungkan apabila dipaksakan. Namun dissenting opinion hakim konstitusi lalu bisa jadi alasan strategis untuk mempengaruhi pengguliran Hak Angket ke depannya.
Sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 telah digelar beberapa hari lalu di mana Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak seluruh permohonan yang diajukan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Menurut MK, permohonan kedua kubu tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Meski demikian, beberapa partai politik hingga kini nampaknya masih terus membahas tentang pengguliran Hak Angket di DPR. Ada pun Partai Nasdem yang menyebut hak angket sudah tak relevan, sementara Partai PDIP masih tetap pada pendiriannya untuk mendalami Hak Angket.
Melihat hal tersebut, Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte pun menilai bahwa hak angket seharusnya sudah dijalankan jauh-jauh hari sebelum pembacaan putusan MK. Sehingga, menurutnya jika masih akan dilanjutkan, hanya menjadi opsi yang kurang menguntungkan bagi partai politik.
Berkaca pada kondisi saat ini, para elit politik lebih fokus pada dinamika rekonsiliasi dan menunggu jatah alokasi distribusi kekuasaan pasca-pemilu. Maka, Efatha menilai opsi hak angket lebih cenderung dihindari.
"Saya melihat bahwa elit parpol sudah setengah hati dan mungkin telah berdiri pada dua kaki, bisa saja cenderung memilih langkah yang meminimalisir konflik relasional dan memperkuat stabilitas serta posisi politik," ujar Efatha ketika dihubungi oleh Tempo.co, pada Jumat, 26 April 2024.
Lebih lanjut, menurut Efatha pengguliran hak angket yang dipaksakan ini ditakutkan justru malah memperlemah kredibilitas partai politik karena dianggap hanya sebagai langkah ekspresi ketidakpuasan, bukan sebagai upaya substantif untuk mengoreksi keadilan dan memperbaiki kesalahan pemilu.
Di sisi lain, ia melihat adanya dissenting opinion dalam sidang Hasil Sengketa Pilpres 2024 beberapa waktu lalu menjadi poin menarik yang bisa mempengaruhi Hak Angket.
Sebagaimana diketahui, tiga orang hakim konstitusi yang terdiri atas Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbainingsih, dan Hakim KonstitusiArief Hidayat mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam sidang Hasil Sengketa Pilpres 2024.
Efatha menyebut pendapat yang berbeda dari ketiga hakim konstitusi ini bisa diinterpretasikan sebagai prosesi refleksi hukum yang esensial, yang pada akhirnya berkontribusi pada proses kepastian hukum.
Proses reflektif ini dinilai menguatkan prinsip keadilan dengan memastikan bahwa semua sudut pandang dipertimbangkan secara menyeluruh, sehingga keputusan yang diambil adalah hasil dari pertimbangan yang komprehensif dan mendalam.
"Dengan demikian dissenting opinion bukan hanya menandai perbedaan pendapat, tetapi juga merupakan alat penting dalam proses pencapaian keputusan yang lebih adil dan matang, yang berdampak untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas dan legitimasi sistem peradilan," ujarnya.
Ia menambahkan, dissenting opinion dapat dipoles dan menjadi alasan yang sangat strategis jika digunakan dengan cerdik dalam konteks yang tepat.
"Melalui cara-cara yang efektif, dissenting opinion bisa dipresentasikan sebagai bukti dari adanya 'ketidakadilan' atau 'kekeliruan' besar dalam sistem peradilan, sehingga memicu simpati publik untuk mendorong tindakan hak angket atau proses hukum lainnya digulirkan," ujar Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana itu.
Menurutnya, jika digunakan sebagai percobaan untuk merubah arah angin hasil pemilu maka hak angket tidak relevan. Namun bisa jadi lebih efektif dengan memanfaatkannya sebagai pembalasan dari perebutan kekuatan untuk memperkuat legitimasi dari pertarungan pilkada serentak yang akan mendatang.
Adapun hal-hal yang tetap harus diperhatikan, kata Efatha, ketika nantinya dissenting opinion secara strategis dimanfaatkan untuk memajukan agenda politik, bisa saja terjadi pergeseran dalam cara masyarakat memandang keputusan pengadilan, dari yang melihatnya sebagai institusi independen dan netral malah menjadi lembaga yang terpolarisasi dan partisipan politik.
Pilihan Editor: Pakar Polirik Universitas Udayana Soal Putusan MK: Prosedur Hukum yang Robust, Apa Artinya?