TEMPO.CO, Surabaya - Moechtar, mantan Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat, majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya memberi kesaksian seputar pidato Bung Tomo dan Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Ia kini berusia 90 tahun, lahir di Pacitan pada 22 Februari 1925.
Moechtar sekolah di Hollandshe Indische Kweekschool Yogyakarta. Ketika Jepang masuk Indonesia, sekolah berlanjut ke Sekolah Guru Menengah Laki-laki. Setelah revolusi kemerdekaan, Moechtar melanjutkan luliah di Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dan Fakultas Sosiologi Jurusan Publisistik di Universitas Indonesia di Jakarta.
Moechtar mengingat, ketika tahun 1945, sekolah tidak terurus, diliburkan akibat perang berkecamuk. Ketika itu, Jepang bertekuk lutut ke Sekutu, dan Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaan. Namun, situasi belum normal. Sehingga, pemerintahan dan juga sekolah belum terurus dengan baik.
Dalam situasi yang tak menentu sehingga sekolah libur, Moechtar yang saat itu sekolah di Yogyakarta, memilih untuk sementara tinggal di Kediri, Jawa Timur. “Saya ke tempat paman saya yang bernama Soedjito. Ia menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum di Kediri,” kata Moechtar, Ahad 22 Oktober 1945.
Kini, Moechtar tinggal di Pucang Asri, Kota Surabaya dalam posisi banyak berbaring akibat pernah jatuh sehingga tulang belakangnya trauma. Daya ingat Moechtar masih kuat, meski sekali-sekali ia perlu waktu lama untuk mengingat sesuatu.
BACA: Apa Peran Bung Tomo di Perang Surabaya 10 November 1945?
Sebagai pejabat Kediri, Soedjito tinggal di tengah kota, di dekat Pasar Pahing di Kelurahan Jamsaren, Kediri. Selama tinggal di rumah pamannya ini, Moechtar punya kegiatan yang hampir rutin tiap hari. Ketika jarum jam menunjuk jam lima petang, Moechtar mendapat tugas untuk mengeluarkan radio merk Philips yang berbentuk kotak, dari kayu.
Ia mengatakan, radio merupakan barang mewah pada saat itu. Di Kediri, kata dia, yang punya radio bisa dihitung dengan jari. “Karena paman saya kepala dinas pekerjaan umum, penghasilannya cukup untuk membeli radio,” kata Moechtar.
Ia mengeluarkan radio milik pamannya dari dalam rumah ke halaman rumah yang luas. Di halaman rumah, sudah menunggu penduduk sekitar tempat pamannya tinggal. Mereka menunggu siaran Bung Tomo.
Bahkan, ada juga yang datang dari tempat jauh di Kediri. Setidaknya ada 20 hingga 30 orang yang takzim menunggu di halaman untuk mendengarkan siaran radio. Kadang, yang datang hingga 50 orang.
Menurut Moechtar, saat itu, stasiun radio yang memancarkan siaran hingga masuk Kediri cuma satu. Ketika itu, belum banyak siaran radio. Sehingga, Moechtar tidak pernah memindah stasiun radio ke stasiun lain karena memang tidak ada yang lain. Siaran yang paling ditunggu itu adalah siaran dari radio yang dimiliki Bung Tomo. Isinya, pidato Bung Tomo selama sekitar setengah jam.
Selengkapnya, baca Edisi Khusus Majalah TEMPO, Bung Tomo dan Pertempuran Surabaya
MOHAMMAD SYARRAFAH | SUNUDYANTORO