TEMPO.CO, Jakarta - Masalah krisis keuangan Universitas Surya sudah dicoba diatasi dengan berbagai cara oleh Yohanes Surya. Pendiri sekaligus rektor perguruan tinggi yang berada di Gading Serpong, Tangerang Selatan, Banten, itu di antaranya membentuk tim restrukturisasi, efisiensi, dan optimalisasi.
Langkah perbaikan itu dilakukan sejak Oktober 2014. Tim penyelamat beranggotakan lima pejabat universitas, yang tugas utamanya menyelaraskan kemampuan keuangan kampus dengan beban gaji dan biaya operasional perkuliahan. Salah satu rekomendasi pertama tim ini adalah pengurangan jumlah dosen dan penurunan nilai gaji mereka. Realisasinya, ada dosen yang gajinya kemudian dipotong drastis hingga tersisa Rp 3 juta per bulan. Sebagian dosen lain hanya dibayar berdasarkan jumlah mata kuliah yang diajarkan di kampus.
Baca: Begini Mimpi Yohanes Surya Mendirikan Universitas Surya
Namun, sampai saat ini manajemen kampus masih terjerat utang bank senilai Rp 16 miliar. Utang itu muncul akibat dari kredit tanpa agunan untuk program student loan yang pengajuannya dilakukan orang tua mahasiswa. Berdasarkan data Bank Mandiri, nilai student loan yang dihimpun Universitas Surya mencapai Rp 43,5 miliar dari 300 orang tua. Jumlah itu sekitar seperempat dari jumlah total mahasiswa 1.247 orang. Masalahnya, ketidakmampuan kampus membayar ikut menyeret orang tua mahasiswa.
Salah satu kerja acara Universitas Surya
Rekomendasi tim menyulut keriuhan baru. Sebagian dosen menolak peraturan sepihak itu. Ditanyai soal ini, Yohanes Surya menampik tudingan sudah menipu dosennya sendiri. Dia mengakui kampusnya terpaksa mengurangi gaji dosen karena tak mampu lagi membayar mereka. “Menipunya di mana? Kami sampai jual aset. Ya, tentu kami kurangi, dong,” kata Yohanes saat ditemui tim investigasi Tempo pada pertengahan Juni 2017.
Baca: Pahit-Getir Dosen Universitas Surya Bergaji Rp 30 Juta
Bukan hanya mengurangi gaji, Yohanes mengaku memberhentikan sebagian dosen. Mereka yang tak diberhentikan memilih hengkang. Dari 200 doktor yang direkrut Yohanes, kini tersisa sekitar 20 orang. Sebagian doktor itu kembali berpencar di segenap penjuru dunia. Ada pula yang memilih menetap di Indonesia, bekerja serabutan, sembari menunggu kesempatan yang lebih baik. Mereka rata-rata bergelar doktor atau doctor of philosophy.
Rekrutmen yang impresif ini tak bisa lepas dari nama besar Yohanes Surya. Pada 2010, Yohanes mengirim surat elektronik ke grup Diaspora Indonesia. Dia mengundang para doktor Indonesia di luar negeri agar pulang ke Tanah Air. Mula-mula mereka diajak mengajar di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya, kampus yang didirikan Yohanes untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Papua.
Baca: Kisah Rektor Universitas Surya Ditinggal Dosen dan Mahasiswanya
Pada 2013 Yohanes mendirikan Universitas Surya. Bersamaan dengan itu, ia meluncurkan program Indonesia Jaya, yaitu ikhtiar untuk mendidik sarjana yang jago sains dengan membangun kampus berbasis riset. Dia kemudian kembali mengundang para ilmuwan dan peneliti di luar negeri untuk bergabung dengan kampus baru ini. Kepada mereka dijanjikan gaji Rp 20-35 juta per bulan serta kampus dengan laboratorium berstandar internasional.
“Saya tertarik dengan visi Profesor Yohanes untuk memajukan Indonesia,” kata Rifki Muhida, peraih gelar doktor fisika terapan dari Universitas Osaka, Jepang, yang kini mengajar di International Islamic University Malaysia. Rifki sempat menjadi dosen di STKIP Surya sebelum dipindahkan ke Universitas Surya.
Tim Investigasi Tempo
Catatan:
Artikel lengkapnya baca majalah Tempo edisi pekan ini, 24-30 Juli 2017