TEMPO.CO, Jakarta - Komite Pemantau Legislatif Syamsuddin Alimsyah mencoba mengkalkulasikan estimasi biaya pelatihan saksi pemilihan umum (pemilu) jika dibebankan kepada negara. Setidaknya, Syamsuddin membagi ke dalam lima kategori saksi berdasarkan kebutuhannya, yaitu pelatihan tingkat tempat pemungutan suara (TPS), saksi rekapitulasi suara, saksi kabupaten, saksi rekapitulasi provinsi, dan saksi rekapitulasi pusat.
"Kalau ini disetujui, maka kita akan mengalokasikan anggaran (untuk biaya pelatihan saksi pemilu), minimal estimasi kami, dengan standar paling minimal kami, maka akan mencapai pada angka Rp 11 triliun," ujar Syamsuddin di Kantor Rumah Kebangsaan, Jakarta Selatan, Ahad, 11 Juni 2017.
Baca juga:
Menteri Tjahjo Pertimbangkan Honor Saksi Pemilu Dibayar dari APBN
Menurut Syamsuddin, seharusnya dalam pembahasan rancangan undang-undang pemilu itu dijemput dengan sebuah kebahagiaan. Namun, dengan permintaan anggaran untuk pelatihan saksi justru menimbulkan persepsi negatif bahwa partai politik selalu 'meminta' apa pun setiap kali ada pemilu.
Padahal, kata Syamsuddin, pemerintah sebenarnya sudah mengalokasikan dana bagi parpol yang diberikan dalam bentuk subsidi. Apabila dibaca dengan seksama, dana bantuan parpol itu dibagi ke dalam tiga kebutuhan, yaitu untuk kaderisasi, pendidikan politik bagi masyarakat, dan operasional yang dilakukan untuk administrasi.
Baca pula:
RUU Pemilu, DPR dan Pemerintah Sepakat Saksi Tak Dibayar dari APBN
Setidaknya ada 67 ribu desa dan 15 ribu kelurahan yang ada di Indonesia. Syamsuddin sendiri mengkhawatirkan apabila pelatihan akhirnya diadakan dalam sehari justru tidak akan selesai hingga menjelang pemilu karena luas wilayah Indonesia. "Ada dalam beberapa daerah justru dalam satu kecamatan saja jarak tempuhnya bisa delapan jam," ujar Syamsuddin.
Menurut Syamsuddin pertimbangan jarak tempuh dan akses juga akan mempengaruhi kebutuhan biaya. Padahal, dana tersebut bisa dialihkan untuk pembiayaan infrastruktur. Masih banyak jalan di daerah terpencil yang harus dibangun dan diperbaiki. Setidaknya ada 1,3 juta ruang kelas yang hari ini tidak bisa diperbaiki karena APBN tidak cukup.
Silakan baca:
Pelatihan Saksi oleh Negara, Koalisi Masyarakat: Pemborosan APBN
Kemudian, terdapat 2 juta anak yabg belajar di emperan jalanan atau pematang sawah karena tidak memiliki ruang kelas. Masih ada 47 persen penduduk yang ternyata masih buang hajat sembarangan. Syamsuddin hal tersebut dilakukan bukan perosoalan kebiasaan melainkan persoalan kekurangan anggaran.
"Rp 11 triliun itu bisa menyelesaikan banyak masalah penduduk. Menurut saya pemerintah harus betul-betul memperhatikan dengan kondisi sekarang," ujat Syamsuddin.
LARISSA HUDA