TEMPO.CO, Jakarta -Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai Presiden Jokowi telah memotong hak konstitusional legislatif untuk mengawasi kekayaan negara di Badan Usaha Milik Negara. Pemotongan hak DPR itu melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dengan mengeluarkan PP Nomor 72/2016.
“PP baru itu inkonstitusional dan menabrak banyak Undang-Undang,” ujar Anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan, seperti dikutip dari situs www.dpr.go.id pada Kamis, 19 Januari 2017. Anggota Fraksi Partai Gerindra tersebut juga mengatakan PP Nomor 72 itu merupakan preseden buruk bagi tata bernegara.
Baca: Komitmen Bawa Telkom Raih BUMN Terbaik 2016
Menurut Heri Gunawan, PP Nomor 72 itu melonggarkan tata cara penyertaan modal negara dan pengalihan kekayaan negara pada BUMN tanpa melalui persetujuan DPR. Sebab, PP ini memperbolehkan pemerintah memindahkan dan mengubah kekayaan negara tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan persetujuan DPR.
Heri mengatakan, semua yang terkait masalah keuangan dan kekayaan negara merupakan obyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pembahasannya telah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 23 ayat 1,2, dan 3.
Baca: Jonan Bandingkan Industri Kilang Minyak dengan Facebook
Adapun dalam Pasal 23 itu disebutkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN diajukan Presiden untuk dibahas bersama DPR dan memperhatikan pertimbangan DPD. Apabila DPR tak menyetujui APBN yang diusulkan Presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun sebelumnya.
“Sebagai obyek APBN setiap bentuk pengambilalihan atau perubahan status kepemilikan saham yang termasuk kekayaan negara harus mendapatkan persetujuan DPR,” kata Heri. Hal itu juga merupakan ketentuan Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. “Pemerintah tidak bisa seenaknya merusak mekanisme ketatanegaraan dengan menyusun aturan yang bertentangan dengan undang-undang dan bahkan konstitusi.”
Menurut Heri, sebelumnya pemerintah juga telah membuat utang baru untuk membiayai sejumlah BUMN dalam membangun infrastruktur sejak 2015. “Apa yang dilakukan pemerintah terjadap BUMN dengan proyek infrastrukturnya merupakan bentuk fait accompli terhadap pengawasan DPR,” ujarnya. Dia menambahkan pengguntingan peran DPR dalam pengawasan terhadap pengalihan kekayaan negara sangat berbahaya. “Pemerintah seolah-olah ingin berjalan tanpa kontrol.”
Sehingga, Heri menuturkan PP Nomor 72 itu harus dibatalkan karena sangat berbahaya dan merusak sistem tata negara yang terbuka, demokratis, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dia pun mencurigai PP itu sebagai dasar Kementerian BUMN meminta Pertamina untuk mengakuisisi PGN. “PP ini juga sebagai cara pemerintah untuk menjual aset-aset negara tanpa sepengetahuan DPR,” ujar dia.
GHOIDA RAHMAH