TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan ruang gerak dinasti politik perlu semakin dibatasi. Sebab, menurut dia, dinasti politik cenderung melahirkan korupsi.
Adnan berujar, memotong struktur dinasti politik merupakan salah satu strategi jangka pendek. "Salah satunya dengan penegakan hukum," ucapnya dalam diskusi di Gado-gado Boplo, Jakarta, Sabtu, 7 Januari 2017.
Skema tersebut terbukti ampuh memotong rantai kekuasaan keluarga Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten. Setelah ditangkap KPK, keluarganya kesulitan berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah.
Baca:
2 Sikap Masyarakat Agar Politik Dinasti Tak Berkembang
ICW: Parpol Jadi Sumber Masalah Dinasti Politik
Andika Hazrumy, putra sulung Ratu Atut, diusung Partai Golongan Karya sebagai calon gubernur pada pemilihan kepala daerah Banten 2017. Adnan menuturkan lawan Andika saat ini terhitung kuat. "Hal yang tidak mungkin terjadi jika rantai dinastinya tidak terputus," ucapnya.
Strategi jangka menengah yang bisa dilakukan ialah menutup ruang gerak korupsi melalui pendekatan teknokratis. "Anggaran bisa dibuat transparan dengan menerapkan layanan elektronik," ucap Adnan.
Namun layanan berupa e-budgeting dan e-catalog selama ini baru inisiatif pemimpin secara pribadi, bukan dari negara. Adnan menilai perlu ada campur tangan pemerintah pusat dalam menjalankan strategi tersebut.
Untuk jangka panjang, strategi yang dilakukan harus melibatkan masyarakat. Masyarakat dinilai perlu mendapatkan pendidikan agar paham politik.
Adnan mengatakan masyarakat Indonesia masih kurang pengetahuan soal politik. "Banyak yang masih belum melek politik," ujarnya. Dampaknya, masyarakat memilih pemimpin bukan berdasarkan kemampuan, melainkan popularitas semata atau politik uang.
Kesadaran politik yang meningkat, menurut Adnan, akan menghilangkan dinasti dengan sendirinya. Masyarakat menjadi rasional dalam memilih.
Pemerintah sebelumnya telah mengatur pencegahan berdirinya dinasti politik melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam aturan tersebut, orang yang memiliki ikatan perkawinan serta darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan inkumben tidak boleh menjabat, kecuali jeda satu periode.
Namun aturan tersebut dianulir Mahkamah Konstitusi. Koordinator Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menilai keputusan tersebut harus dihormati karena bersifat tetap dan mengikat. "Tapi, secara substansi, putusan tersebut merupakan kesalahan besar," ujarnya.
VINDRY FLORENTIN
Baca juga:
Penulis Buku Jokowi Undercover Pernah Jadi Caleg Golkar
Mendagri: Ada Indikasi Jual-Beli Jabatan Silakan Lapor KPK