TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengatakan penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso disebabkan permintaan pemerintah Filipina. Pemerintah Filipina, kata Prasetyo, menilai Mary Jane adalah korban perdagangan manusia yang dimanfaatkan jaringan pengedar narkoba.
"Permintaan mereka (pemerintah Filipina) bahwa Mary Jane adalah korban human trafficking dan dia (Mary Jane) akan digunakan sebagai saksi," kata Prasetyo saat rapat kerja bersama Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 26 September 2016.
Dalam rapat kerja bersama Dewan, Prasetyo menjawab pertanyaan Dewan terkait dengan pelaksanaan eksekusi mati. Prasetyo mengatakan kejaksaan tak dapat memastikan jumlah terpidana mati yang bakal dieksekusi mati dalam gelombang ketiga pada Juli 2016. Semula, kata dia, kejaksaan menetapkan 14 terpidana mati bakal dieksekusi, tapi hanya empat yang dieksekusi saat itu.
Prasetyo mengatakan eksekusi mati tak sama dengan eksekusi lain karena berkaitan dengan nyawa. Kejaksaan, kata dia, perlu meneliti ulang agar tak ada kesalahan kekurangan. Termasuk menerima masukan, baik yang mendukung maupun yang menolak eksekusi mati. "Maka jaksa agung belum bisa memastikan jumlah pasti yang dieksekusi," tuturnya.
Menurut Prasetyo, kejaksaan semula telah menyiapkan eksekusi untuk 14 terpidana. Baik dari regu tembak; pengamanan; perlengkapan, seperti peti mati; maupun notifikasi kepada kedutaan besar oleh Kementerian Luar Negeri. "Mereka pun telah diisolasi," ujarnya.
Akhirnya kejaksaan mengeksekusi empat terpidana mati pada 29 Juli 2016. Keempat terpidana yang sudah dieksekusi adalah Freddy Budiman, Humprey Ejike, Michael Titus, dan Seck Osmane.
ARKHELAUS W.